Tauladani Diplomasi Khas Pesantren Para Ulama Indonesia

- Senin, 30 Mei 2022 | 11:45 WIB
Ilustrasi Ilmu Kuno Diplomasi (Pixabay.com)
Ilustrasi Ilmu Kuno Diplomasi (Pixabay.com)

Bogor Times- Langkah diplomasi yang diteladankan para kiai memiliki tujuan paripurna, yaitu kemaslahatan bangsa dan negara. Masyarakat global dan generasi milenial yang identik dengan ruang digital mesti out pola-pola diplomasi para kiai, menjunjung tinggi keadaban, melakukan kroscek kebenaran (verifiksi, tabayun), dan menebarkan kesejukan serta pemasangan dalam media sosial.

Pola diplomasi sesama pengguna dan pengakses informasi di internet juga perlu memiliki pengetahuan sehingga mampu melakukan filter terhadap setiap yang ia terima. Informasi yang didapatkan tidak mentah-mentah sehingga mengakibatkan patologis digital, penyakit di mana masyarakat dunia maya mudah terpengaruh dengan berita-berita palsu dan informasi yang belum tentu kebenarannya.

Kearifan diplomasi para ulama pendahulu membuktikan bahwa kearifan sangat dibutuhkan jika yang dinjunjung adalah kemaslahatan dan kepentingan bersama. Meski demikian, pemikiran dan langkah cepat serta tepat tetap dibutuhkan dalam sebuah diplomasi. Seperti yang dilakukan oleh Pendiri NU KH Hasyim Asy'ari saat menanggapi teguran Syekh Muhammad Al-Amin Al-Husaini terhadap janji Perdana Menteri Nippon (Jepang) Kunaiki Koiso.

Baca Juga: Indonesia Police Watch (IPW) Meminta Presiden Joko Widodo untuk Memerintahkan Panglima TNI Korupsi
Janji berjanji Jepang untuk memerdekakan bangsa Indonesia memang menarik perhatian bukan hanya di tanah air, tetapi masyarakat dunia Islam, khususnya Syekh Muhammad Al-Amin Al-Husaini. Sampai pada 3 Oktober 1944, Syekh Al-Amin Al-Husaini yang merupakan pensiunan mufti besar Baitul Muqadas Yerusalem yang juga ketika Ketua Kongres Muslimin se-Dunia mengirim surat teguran kepada Duta Besar Nippon di Jerman, Oshima. Kala itu Syekh Al-Husaini sedang berada di Jerman.

Kawat teguran tersebut berisi imbauan kepada Perdana Manteri Jepang Kuniki Koiso agar mengambil keputusan terhadap nasib 60 juta penduduk Indonesia yang 50 juta di antaranya adalah bergama Islam. Kongres Islam se-Dunia menekankan Jepang untuk segera menunjukkan bangsa Indonesia.

Atas teguran tersebut, Kuniki Koiso akan menghargai kemerdekaan untuk bangsa Indonesia. Jawaban Koiso itu disebarluaskan melalui Majalah Domei. Kawat teguran dari Syekh Al-Amin Al-Husaini tersebut sampai kepada Hadratussyekh Hasyim Asy'ari. Ia sebagai Ketua Masyumi menerima tindasan teguran tersebut.

Baca Juga: Putra Sumut Bongkar Mitos Danau Terbesar di Malkut
Menyikapi teguran tersebut, Kiai Hasyim Asy'ari yang juga pemimpin tertinggi di Nahdlatul Ulama (NU) merasa perlu mengumpulkan para pengurus Masyumi yang terdiri dari berbagai golongan umat Islam dari sejumlah pada 12 Oktober 1944.


KH Hasyim Asy'ari sebagai pemimpin NU dan Masyumi segera membalas kawat tindasan Syekh Muhammad Al-Amin Al-Husaini yang telah membantu bangsa Indonesia dengan menegur Perdana Menteri Jepang Kuniki Koiso. Diplomasi global yang memiliki peran penting dalam memerdekakan bangsa Indonesia.

Kearifan diplomasi kiai juga bisa dipetik dari KH Abdul Wahab Chasbullah. Choirul Anam dalam bukunya pertumbuhan dan Perkembangan NU (1985) menyebutkan, hubungan baik antara Presiden Soekarno dan Kiai Wahab Chasbullah memudahkan diterimanya saran-saran NU yang disampaikan oleh Kiai Wahab melalui DPAS. Misalnya, ketika DPAS sedang membicarakan perlu tidaknya berunding tentang Irian Barat (sekarang Papua) dengan pihak Belanda.

Baca Juga: Keutamaan dan Cara Shalat Jumat Serta Niat, Waktu, Syarat-Syaratnya.

Kiai Wahab segera menyampaikan sarannya yang terkenal dengan istilah 'Diplomasi Cancut Tali Wondo'. Maksudnya untuk mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah Indonesia diperlukan waktu untuk menggalang kekuatan lahir dan batin di segala bidang.

Ikhtiar lahir batin tersebut segalanya dalam negeri harus diselesaikan terlebih dahulu, politik harus memastikan untuk berpartisipasi secara jujur ​​dan adil, rakyat harus diangkat dari kungkungan kemiskinan, penghematan harus dilakukan di segala tingkatan, demokrasi harus berjalan dengan baik agar rakyat merasa tidak dibatasi.

Semua pertimbangan tersebut perlu dan dilaksanakan. Bagaimana bisa melakukan diplomasi secara jantan dengan pihak Belanda jika keadaan dalam negeri masih rentan, keropos, dan belum kondusif. Dari ikhtiar ini, Kiai Wahab menyatakan, 'Diplomasi Cancut Tali Wondo' memang memerlukan waktu karena pertimbangan keadaan dalam negeri.

Baca Juga: Wisudawan Universitas Sam Ratulangi Protes Tolak Pungli

Ternyata, saran Kiai Wahab tidak meleset. Pada awalnya, Belanda menganggap bahwa Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) tidak memiliki kemampuan ofensif. Tetapi setelah persiapan sudah matang dan dilakukan pembelian peralatan ofensif di Moskow pada 4 Januari 1961, barulah Belanda sadar bahwa kemampuan itu adalah soal waktu. Pada akhirnya, bebaslah Irian Barat dari tangan Belanda dan kembali ke pangkuan ibu pertiwi, Republik Indonesia.

Halaman:

Editor: Ahmad Fauzi

Sumber: NU Online

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Jatuh dan Terluka, Apakah Puasa Menjadi Batal?

Rabu, 27 Maret 2024 | 12:55 WIB

Deretan Artis Gagal Nyalon Pileg 2024

Rabu, 13 Maret 2024 | 09:39 WIB

Hikmah Mengakhirkan Sahur saat Puasa Ramadhan

Selasa, 12 Maret 2024 | 13:13 WIB

Tidur Saat Romadhon Ibadah, Simak Maksudnya

Selasa, 12 Maret 2024 | 12:53 WIB

Penentuan Awal Ramadhan, Simak Pendapat Ulama

Jumat, 8 Maret 2024 | 22:40 WIB

Inilah Beberapa yang Membatalkan Puasa

Jumat, 8 Maret 2024 | 07:36 WIB

Inilah Keutamaan Puasa di Bulan Ramadhan

Rabu, 6 Maret 2024 | 22:31 WIB

Semangat Baru, Bali Kembali Gelar Bahtsul Masail

Senin, 4 Maret 2024 | 06:30 WIB

Keharaman Penentuan Harga hingga Kenaikan Bahan Pokok

Selasa, 27 Februari 2024 | 10:43 WIB
X