Pendapat ini juga dikuatkan oleh sabda Rasulullah ﷺ kepada Sa‘d ibn Abi Waqash, “Tidaklah engkau mengeluarkan satu nafkah dengan mengharapkan ridha Allah kecuali akan diberi pahala. Bahkan, satu suap yang diberikan kepada istrimu sekalipun,” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits lain, Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidaklah seorang Muslim memberi nafkah kepada keluarganya dengan mengharap pahala Allah, maka itu bernilai sedekah untuknya,” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Beberapa hadits di atas menunjukkan bahwa seorang hamba diberi pahala hanya jika dia berniat baik dan mengharap pahala-Nya. Jika nafkah yang wajib saja disyaratkan untuk berniat baik dan mengharap pahala Allah, maka sudah barang tentu dalam berjimak yang hukumnya mubah.
Baca Juga: Mau Tau Gaya Bersenggama dan Rahasia Dibaliknya Menurut Ajaran Islam?
Selain itu, agar jimak lebih bernilai pahala, dan diharapkan melahirkan keturunan yang saleh, juga dianjurkan untuk memenuhi adab atau etika-etikanya, seperti mengawalinya dengan basmalah dan doa, sebagaimana hadits Rasulullah ﷺ yang menyatakan:
seandainya seseorang hendak mendatangi istrinya dan membaca:
بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ، وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
Baca Juga: Cara Jitu Hadapi Suami Pelit, Tinjauan Hadis Nabi Muhammad SAW dan Tekhnik, Para Istri Wajib Tau
(Bismillâhirrahmânirrahîm, allâhumma jannibnâsy-sy-syaithâna wa jannibisy-syaithâna mâ razaqtanâ).
Artinya, “Dengan menyebut asma Allah yang maha pemurah lagi maha penyayang. Ya Allah, jauhkanlah setan dari kami, dan jauhkanlah setan dari turunan yang Engkau berikan kepada kami.” Maka jika di antara keduanya ditakdirkan lahir seorang anak, maka anak itu tidak akan diganggu oleh setan selamanya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Adab lainnya adalah tidak menghadap kiblat, tidak di tempat terbuka, mengenakan kain penutup, sebaiknya tidak mengumbar suara, tidak banyak bicara, tidak ada yang melihat walaupun anak kecil yang belum baligh, tidak ada yang merekam atau direkam—walaupun keduanya meridhai hal itu—tidak boleh dilakukan di hadapan istri yang lain, sebaiknya dilakukan dalam keadaan suci keduanya, setidaknya setelah mencuci kemaluan dan berwudhu jika ingin mengulangi, dilakukan di hari atau malam Jumat, sebagaimana menurut al-Ghazali.
Baca Juga: BEM SI Kembali Demo KPK. Polri Lakukan Rekayasa Lalin Cegah Kemacetan.
Kemudian, tidak dilakukan di waktu-waktu yang tidak diperbolehkan, seperti istri sedang haid, sedang nifas, salah satu pasangan sedang beri’tikaf, berpuasa, dan ihram.
Sedangkan pada saat istri mengalami istihadhah (keluar darah penyakit) atau belum mandi besar dari haid diperdebatkan para ulama. Namun, kebanyakan ulama menganjurkan si istri sudah mandi besar.
Artikel Terkait
KH.Aqil Sirodj: Pandemi Covid-19 Sangat Perlu Diwaspadai, Karna Gelombang Berikut Bisa Terjadi Akhir 2021.
Tidur Tanpa Bantal Kurangi Stress dan Jerawat. Berikut Penjelasannya.
Dikira Cuman Orang Yang Masuk Angin, Ternyata Mobil Juga Minta Dikerokin.
Balita Tewas Terbawa Air Sungai, Saat Asik Main Hujan-hujanan.
Ditunjuk Kemedikbud, SMA Puspa Bangsa, Desa Cibadak, Gelar Uji Coba ANBK
Menyambut PTM, Yayasan Pendidikan Muhammadiyah Parung Gelar Vaksinasi untuk Siswa Siswi
Hendak Bunuh Selingkuhan Istri?, Wajib Tau Kisah Kiai Bijak Ini