Bogor Times - Seperti Tersambar Geledek masyarakat dikejutkan informasi yang mengemuka dibidang hukum.
Belum lama ini, Mahkamah Agung (MA) mengajukan permohonan peninjauan kembali atas Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan.
Meski mengatur tentang pengetatan pemberian remisi untuk kasus-kasus maling uang rakyat, terorisme, dan narkoba, regulasi itu masyhur yang dikenal dengan sebutan PP Pengetatan Remisi Koruptor.
Baca Juga: Belum Setahun Pernikahan Lesti Kejora Lepas Cincin Kawin
Baca Juga: Aksi Pungli Pedagang Kaki Lima (PKL) Berujung Musyawarah, PD Pasar Siap Setor Uang ke Desa Citeureup
Baca Juga: Tanpa Esteban Vizcarra, Persib Bandung Optimis Tumbangkan Persela Lamongan
Judicial review itu dimohonkan oleh lima Lembaga yang kini menjalani masa hukuman di Pemasyarakatan Kelas IA, Sukamiskin, Kota Bandung.
Mereka mengajukan uji materi atas empat pasal yakni Pasal 34A Ayat (1) huruf a dan b, Pasal 34A Ayat (3), Pasal 43A Ayat (1), dan Pasal 43A Ayat (3) dalam PP tersebut.
Hasilnya, MA menyatakan bahwa pertimbangan PP Nomor 99 Tahun 2012 bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 1995 (tentang Pemasyarakatan).
Baca Juga: Sifat Para Zodiak yang Memiliki Lawan Jenis, Taurus: Punya Komitmen yang Kuat
Delapan tahun lalu, judicial review terhadap PP 99/2012 itu pernah dimohonkan terpidana kasus maling uang rakyat bernama Rebino dan kawan-kawan.
Tak terlihat feminim, MA bulat-bulat menolak permintaan tersebut. Dalam salah satu petitum, pada waktu itu, MA menyatakan bahwa PP 99/2012 tidak bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Dalam putusan mutakhir, MA menyatakan sebaliknya. Delapan tahun, dalam petitum, MA juga menyatakan bahwa tujuan utama penerbitan PP 99/2012 adalah pembinaan pembinaan.
Baca Juga: Menghadapi Persela Lamongan Pelatih Persib Bandung , Pastikan Pastikan Dalam Keadaan Bugar
Oleh karena itu, pembinaan yang berbeda terhadap suatu konsekuensi logis adanya perbedaan karakter kejahatan yang dilakukan, perbedaan sifat kejahatan yang dilakukan, serta akibat dari tindak pidana yang dilakukan masing-masing.
Tak hanya itu, dulu, MA menyatakan bahwa pemerketatan syarat mempersembahkan remisi dilakukan untuk mencerminkan keadilan.
Hal itu dilakukan untuk menunjukkan perbedaan antara pelaku tindak pidana yang biasa atau tindak pidana yang dijatuhkan dengan biaya sosial, ekonomi, dan politik yang harus ditanggung negara dan/atau rakyat Indonesia.
Dengan demikian, perbedaan perlakuan merupakan konsekuensi etis untuk memperlakukan secara adil sesuai dengan dampak kerusakan moral, sosial, ekonomi, keamanan, generasi muda, dan masa depan bangsa, dari kejahatan yang dilakukan masing-masing...korupsi di Indonesia telah merampas hak -hak dasar sosial dan ekonomi dari rakyat Indonesia dan berlangsung secara sistematis dan meluas sehingga menjadi kejahatan luar biasa...”
Baca Juga: Momentum Sumpah Pemuda, Pemuda Sunda Menggugat dengan Tiga Tuntutan Rakyat
Delapan tahun berlalu, majelis hakim mengambil sikap bertolak belakang. Menurut mereka, terpidana maling uang rakyat tidak boleh dibeda-bedakan dengan terpidana kejahatan lainnya.
Lagi pula, fungsi pemidanaan tak lagi tujuan memenjarakan pelaku dengan memberi efek jera.
Pengabulan permintaan tersebut merupakan bagian dari usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sejalan dengan model keadilan restoratif.
Baca Juga: Kenali Macam - macam Jenis Hujan, Dari Gerimis Hingga Badai
Dalam konteks ini, kami yakin dengan pernyataan Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara, bahwa MA keliru dalam memahami konsep keadilan restoratif.
Konsep itu lahir ketika hak asasi manusia, dalam mekanisme maksimal peradilan, tak bisa memberi keadilan secara kepada korban.
“Makanya kemudian dikembangkan istilah restorative justice untuk menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan bagi korban,” ucap Bivitri.
“Koruptor itu bukan korban. Korban (dari tindak pidana korupsi) itu adalah kita-kita yang kehilangan hak untuk mendapatkan fasilitas yang baik,” kata dia.
Baca Juga: Sadiaga Uno: Garuda Indonesia Dalam Masa Sulit, Namun Badai Pasti Berlalu.
Wajar jika kemudian publik menilai bahwa pengabulan permohonan peninjauan kembali itu merupakan bagian dari pelemahan terhadap upaya pemberantasan aksi lancung maling uang rakyat.
Dia tak berdiri sendiri, tetapi berkaitan erat dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Semua itu dimulai dari revisi terhadap Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Selanjutnya, terdapat aturan bahwa hakim agung ditetapkan presiden dari nama calon yang diajukan DPR.
Baca Juga: Vincent Verhaag Nampak Lemah Usai El Barack Memelas untuk Panggil 'Ayah'
Satu hal yang tak boleh dilupakan adalah revisi UU tentang Mahkamah Konstitusi. Lewat regulasi itu, masa jabatan hakim MK diperpanjang menjadi 15 tahun.
Dengan demikian, para hakim yang sedang memiliki kepentingan untuk kembali dipilih DPR.
Syaratnya, jadi "anak yang baik". Kita sudah bersepakat bahwa maling uang rakyat (juga terorisme dan narkoba) merupakan kejahatan luar biasa. Dengan demikian, penanganannya harus luar biasa.***
Artikel Terkait
Perbaikan Infrastruktur Diharapkan Dongkrak Produksi Kopi di Pulau Hanaut
Tidak Mau ketinggalan Trend Kopi Sohor menjadi Andalan Bumdes Desa Sirnarasa
Masker Kopi Mencerahkan Kulit Dengan Biaya Murah
Tips Selingkuh Yang Jitu dan Efektif, Penting di Ketahui Untuk Antisipasi
Inilah Hukuman Selingkuh Menurut Agama Hindu
Resep Kopi Kekinian, Bisa dinikmati di Rumah
Wow, Ternyata Kopi Adalah Minuman Para Sufi, Simak Penjelasannya
Sejarah Kopi, Ulas Jejak Kopi Asa Kuno Abyssinia dari Ethiopia dan Eritrea
Legenda Kopi di Negeri Ethiopia, Kisah Kaldi dan Kambingnya
Cerita Kopi dan Ali Bin Omar Ashadzili, Simak Ulasan Kitab 'Inaasush Shofwah bi Anfaasil Qohwah'
Sejarah Penyebaran Kopi dari Abyssinia, Yaman Hingga Eropa
Bongkar Serangan Santet Dengan Kopi Hitam, Begini Caranya
Kamu Setia Atau Tukang Selingkuh? Lihat Bulan Kelahiran Kamu