Rivalitas HMI dan PMII di Muktamar NU

- Jumat, 8 Oktober 2021 | 12:30 WIB
Khotimi Bahri Wakil Katib Suriah PCNU Kota Bogor (bogortimes.com)
Khotimi Bahri Wakil Katib Suriah PCNU Kota Bogor (bogortimes.com)

 

Bogor Times- Menarik membaca beberapa media yang mengangkat isu HMI vs PMII di Muktamar NU ke 34 yang insya Allah akan digelar akhir tahun ini. Hal ini dikaitkan munculnya KH. Yahya Cholil Staquf yang berlatar belakang HMI, dan Gus Muhaimin Iskandar yang PMII dalam bursa calon ketua umum.


Entah darimana opini ini bermula. Tapi yang pasti rivalitas HMI-PMII bukanlah sesuatu yang baru. Bagi para aktifis kampus, perebutan Presiden Mahasiswa, Himpunan Mahasiswa Jurusan, Unit Kegiatan Kampus akan terasa hambar jika tidak melibatkan dua organisasi kemasiswaan tersebut.


Membaca beberapa media yang mengangkat isu HMI vs PMII di Muktamar NU mendatang, membawa memori lama saya hadir kembali. Saya yang lahir dan besar dari keluarga NU, bahkan sudah menjadi NU sebelum lahir (guyonan orang Madura) pernah berkecimpung di dua organisasi kemahasiswaan tersebut. Kok bisa? Ya, bisa. Awal masuk kuliah tahun 1994, saya digiring masuk HMI lewat Maperca dan berlanjut ke LK 1, LK 2 bahkan LK 3. Sehingga materi NDP/NIK sudah tidak asing lagi.

Baca Juga: Bima Arya Minta Disdukcapil Bersinergi dengan KPU dalam Pemutakhiran Data Pemilih
Tahun berikutnya saya ikut Mapaba PMII Kota Bandung. Organisasi ini membawa saya sangat familier dengan kelompok Sancang yang digawangi tokoh-tokoh muda NU. Tentu tidak sulit bagi saya beradaptasi dengan mobilitas kelompok Sancang karena sejak ikut test Perguruan Tinggi, saya tinggal di lembaga NU, dan biasa berinteraksi dengan pengurus PCNU Kota Bandung saat itu. Apalagi bekal rekomendasi kultural yang saya kantongi sebagai orang Madura.


Makanya, ketika HMI, PMII menjadi trend issu untuk muktamar NU, saya malah bertanya; ini serius apa cuma sekedar bumbu penyedap. Atau memang telah terjadi saling silang kepentingan (cross cutting of interest) dibalik isu ini. Wallahu a'lam. Tapi saya akan coba tawarkan pendekatan pisau analisanya Sigmund Freud dan Jacques Lacan dalam hal ini.

Sigmund Freud punya konsep psikoanalisa. Pondasi psikoanalisa adalah : a) liberasi diri, dan b) ketidaksadaran. Ada tiga skema bagi Freud yaitu : Id, Ego, Superego. "Id" adalah prinsip ketaksadaran atau prinsip kesenangan (pleasure principle). Fase Id adalah fase dorongan instingtif individu yang dominan. Dan ini membutuhkan pemuasan. Pada fase ini yang terjadi adalah usaha untuk memuaskan kesenangan.

Baca Juga: Jokowi di Minta Ikuti KPU Soal Pemilu Serentak 2024


"Ego" adalah prinsip kesadaran atau prinsip realitas (reality principle). Pada fase ego inilah kita mulai menyadari akan sebuah realitas. Kalau dalam Islam fase ini disebut fase tamyis, akil baligh.

Gagasan elementer psikoanalisa Freud adalah liberalisasi diri. Yaitu merdeka dari psikoneurosis, dari simpton psikis, dari identias sosial, serta dari belenggu ideologi, budaya dan lain-lainnya. Inilah proses menuju superego.


Senada dengan Freud, Jacques Lacan juga punya prinsip liberalisasi. Bagi Lacan, kita tidak hanya lepas dari kungkungan ideologi dan budaya, tapi juga harus merdeka dari citra-diri orang lain. Kalau dalam analisa Freud antara ketidaksadaran dan kesadaran merupakan tahapan perkembangan yang harus dilalui, maka bagi Lacan, ketidaksadaran dan kesadaran dua dimensi yang pasti ada. Kombinasi keduanyalah yang melahirman identitas baru yang merdeka.

Baca Juga: Amalan Penolak Bala di Bulan Safar

Dalam ulumul hadits kita mengenal macam-macam khobar (riwayat). Jika khobar itu terus bersambung kepada sumber khobar (Rosulullah) maka disebut khobar muttashil. Namun, jika perowinya (informan) terputus maka disebut khobar mursal. Bahkan jika terputusnya mata rantai informan lebih dari satu disebut munqhoti'.


Ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa khobar mursal bisa dijadikan landasan jika perowinya banyak. Sebab bagi mereka, kuat tidaknya khobar ditentukan oleh kuantitas pembawa berita bukan semata-mata ketersambungan berita. Namun bagi ulama Syafi'ie khobar mursal baru dianggap kuat jika ada khobar penguat lainnya. Atau adanya kesesuaian dengan perilaku sahabat dan ulama salaf.

Isu rivalitas HMI-PMII dalam muktamar NU adalah sebuah kemunduran. Sama artinya dengan orang yang belum akil baligh yang masih terkungkung dalam memori kesenangan, ketidak dewasaan dan ketidaksadaran. Mestinya diusia yang hampir satu abad ini NU lebih dewasa, inklusif, tamyis dan akil baligh.

Halaman:

Editor: Mochammad Nurhidayat

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Mencegah dan Mengatasi Korupsi dalam Perspektif Islam

Senin, 4 Desember 2023 | 22:03 WIB

Tips Memilih Buah Jeruk yang Manis

Rabu, 18 Oktober 2023 | 18:59 WIB

Karisma Ulama Yang Telah Runtuh

Jumat, 28 Juli 2023 | 15:27 WIB

Hati-hati! Embrio Kaum Khoarij

Jumat, 28 Juli 2023 | 15:22 WIB
X