Reformasi Khittah Berkaca Pada Perjalanan NU Dalam Kurun Waktu Satu Abad

- Rabu, 3 November 2021 | 15:44 WIB
Gambar Bendera Nahdlotul Ulama  (bogortimes.com)
Gambar Bendera Nahdlotul Ulama (bogortimes.com)


Diera orde baru muncul kebijakan fusi partai. Setelah melalui perundingan intensif, empat partai Islam yaitu NU Parmusi, PSII dan Perti sepakat melakukan fusi yang dituangkan dalam deklarasi tanggal 5 Januari 1973. Deklarasi tersebut menyatakan bahwa keempat partai Islam telah seia sekata untuk memfusikan diri politiknya dalam suatu partai politik yang diberi nama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Segala kegiatan non politik tetap dikerjakan dan dilaksanakan oraganisasi masing-masing sebagaimana sedia kala.


Fusi partai - partai Islam pada awalnya menguntungkan NU, karena fusi itu dilakukan tatkala NU berhasil memperoleh suara yang jauh di atas partai-partai lain. Pada pemilu 1971 NU memperoleh 18,4 persen, Parusi 6,3 pesen, PSII 2,3 persen dan Perti 0,7 persen.

Baca Juga: Alissa Wahid: Makam Gus Dur di Serbu Para Pencintanya karena di Buka Lagi.

Dengan perimbangan suara seperti ini, NU mendapat 58 kursi atau 61,7 persen dari keseluruhan kursi partai Islam sebanyak 94 kursi. Meskipun NU memperoleh suara mayoritas namun jabatan ketua umum Dewan Pimpinan Pusat dipegang orang non NU yaitu HMS Mintaredja dari Parmusi. Sedang NU hanya mendapat jatah jabatan yang bersifat prestisius belaka.


NU Kembali Ke Khitaah 1926
Gagasan untuk mengembalikan NU sebagai organisasi sosial kegamaan telah muncul sejak Muktamar ke-23 tahun 1962 di Solo. Ada dua alternatif yang ditawarkan pada waktu itu untuk mengembalikan NU sebagai organisasi soaial keagamaan.

Pertama, mengembalikan NU sebagai organisasi sosial keagamaan dan menyerahkan kepada politisi NU untuk membentuk wadah baru sebagai partai politik yang menggantikan kedudukan NU.

Kedua, membentuk semacam biro politik dalam NU. Biro ini berada dalam struktur NU yang mengurusi soal-soal politik. Sedang NU sendiri sebagai organisasi sosial keagamaan bukan sebagai partai politik. Namun gagasan ini tidak mendapat tanggapan peserta Muktamar.


Keputusan Muktamar Semarang menunjukkan tidak adanya kesamaan pandangan di kalangan NU tentang hubungan NU dan PPP. Namun ada arus kuat yang menghendaki agar NU melepaskan diri dari PPP jika ingin kembali kepada semangat jiwa 1926 waktu pertama kali NU didirikan. Dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama NU tahun 1983 di Situbondo dan dikukuhkan dalam Muktamar 1984 di tempat yang sama, NU menyatakan kembali ke Khittah 1926 dan secara organisasi melepaskan diri dari ikatan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan lain.


Pada era reformasi, NU tetap berpijak pada keputusan Muktamar 1984 yaitu kembali ke khittah 1926 sebagai organisasi keagamaan, namun mengingat urgennya saluran politik kaum nahdliyin, maka beberapa tokoh NU mendeklarasikan berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). PKB dideklarasikan pada tanggal 23 Juli 1998 di Jakarta oleh para kyai NU seperti Kyai Munasir Ali, Kyai Ilyas Ruchiyat, Kyai Abdurrahman Wahid, dan Kyai A. Muhith Muzadi.


Kebutuhan Reformulasi Khittah
Menjelang Muktamar ke 34 di Lampung tanggal 23-25 Desember 2021, diskursus Khittah kembali muncul kepermukaan. Dalam sejarahnya, NU sudah melewati beberapa pengalaman panjang. mulai dari perannya sebagai organisasi keagamaan, bergabung dalam partai politik (Masyumi), menjadi partai politik, fusi dengan beberapa partai, serta membidani lahrinya partai politik. Dalam kancah kepemimpinan nasional, NU pernah menjadi presiden yang berlatar belakang Ketua Tanfidziyah yaitu K.H. Abdurrahman Wahid, juga wakil presiden yang berasal dari Rais Am yaitu K.H. Ma;ruf Amien.


Lantas peran apa dan bagaiman cara mengimplementasikannya dimasa mendatang, khususnya menjelang usianya yang satu abad, tentu muktamar yang akan menjawabnya. Semoga muktamar mendatang tidak hanya sibuk dengan urusan pemilihan ketua umum dan rais am.

Tapi yang lebih penting bagaimana NU merumuskan visi-misi satu abadnya. Dan tentu reformulasi khittah akan sangat urgent untuk dirumuskan. Paling tidak ada tiga langkah dalam mereformulasikan Khittah :


Pertama, “to assert ‘menegaskan’, atau to say ‘menyatakan’ kembali makna dan fungsi Khittah.
Kedua, to explain ‘menjelaskan’ terkait dengan interpretasi Khittah. Interpretasi lebih menitikberatkan pada penjelasan berbagai dimensi Khittah dan kolerasinya dengan kebutuhan zaman.

Ketiga, translate atau to interpret ‘menafsirkan’ dan menjabarkan tataran teknis Khittah, apakah dalam praktiknya berkolaborasi dengan partai politik, atau bersinergi dalam tataran konseptual saja, atau tetap menjaga jarak dengan partai politik dan berperan sebagai pengawal yang independen. Selanjutnya, seperti apa operasionalisasi khittah, rumusan dan pengalaman sejarah panjang NU akan menjawabnya.

Penulis lahir dan tumbuh dilingkungan NU, mengenyam pendidikan dasar dan menegah di PP Mathlabul Ulum Jambu Sumenep, TMI Al-Amien Prenduan Madura, TQN Kaduparasi Labuan, Raudlatul Hikam Cibinong, dan beberapa pesantren di Jabar. Menyelesaikan S-1 Aqidah Filsafat UIN Bandung dan Pascasarjana MPD-IPB** (Khotimi Bahri/
Wakil Katib PCNU Kota Bogor dan Pembina PC LBM-NU)

Halaman:

Editor: Mochammad Nurhidayat

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Mencegah dan Mengatasi Korupsi dalam Perspektif Islam

Senin, 4 Desember 2023 | 22:03 WIB

Tips Memilih Buah Jeruk yang Manis

Rabu, 18 Oktober 2023 | 18:59 WIB

Karisma Ulama Yang Telah Runtuh

Jumat, 28 Juli 2023 | 15:27 WIB

Hati-hati! Embrio Kaum Khoarij

Jumat, 28 Juli 2023 | 15:22 WIB
X