Membongkar Seluk-Beluk Perjalanan Penting Hari Santri Dan Goresan Tinta Emas Sejarah Resolusi Jihad NU.

- Sabtu, 2 Oktober 2021 | 01:02 WIB
m.youtube-penerus para nabi (m.youtube-penerus para nabi)
m.youtube-penerus para nabi (m.youtube-penerus para nabi)

BogorTimes - Seperti yang di ketahui para warga nahdliyyin. Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta.
Ini lah pepatah yang meski kita pahami dengan mendalam. karena ini yang menjadi cikal bakal Hari Santri dan resolusi jihad akan kita kupas secara lugas dan akurat.

Di dalam film Sang Kiai, Kiai Hasyim Asy'ari yang makin sepuh sangat ingin diajari menembak di zaman Revolusi. Bukan tidak mungkin tentara Belanda akan mencari anaknya yang jadi pejabat Republik. Tapi kesehatannya tidak memungkinkan untuk belajar menembak. Kiai Hasyim Asy'ari akhirnya wafat pada 25 Juli 1947 atau empat hari setelah Belanda melancarkan Agresi Militer I.

Setelah Kiai Hasyim Asy'ari tutup usia, Hizbullah menjadi salah satu laskar yang terlibat dalam Revolusi Indonesia. Bahkan ada juga bekas milisi Hizbullah yang kemudian bergabung dengan TNI.

Baca Juga: Kamu Setia Atau Tukang Selingkuh? Lihat Bulan Kelahiran Kamu

Belakangan, Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 akhirnya dikenang sebagai Hari Santri Nasional. Presiden Joko Widodo menetapkannya secara resmi pada 2014.

Penetapan Hari Santri oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015 pada 15 Oktober 2015 merupakan supremasi perjuangan para santri dan ulama pesantren dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Pada saat itu NICA (Netherlands Indies Civil Administration) menunggangi tentara Sekutu (Inggris) ketika hendak kembali menduduki Indonesia dalam Agresi Militer Belanda II pasca kekalahan Jepang oleh Sekutu.

Baca Juga: Miliki Segudang Inovasi, PT Indocement Kembali Mendulang Penghargaan Bergengsi

Hal ini menunjukkan bahwa Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 bukanlah akhir dari perjuangan. Justru perjuangan semakin sengit sehingga tidaklah mudah ketika bangsa Indonesia ingin menegakkan kemerdekaan Indonesia, sementara rongrongan upaya kolonialisme masih tetap ada menggerogoti.

Ulama pesantren sudah menyiapkan jauh-jauh hari kalau-kalau terjadi perang senjata saat Jepang menyerah kepada Sekutu. Pendudukan Jepang atas Indonesia tergoyang ketika mereka kalah perang dengan tentara sekutu. Seketika itu pula mereka berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan kekuatan perangnya dengan melatih para pemuda Indonesia secara militer guna berperang melawan sekutu.

Para pemuda dimaksud tidak lain adalah para santri. Karena sudah mempunyai kesepakatan diplomatik dengan Kiai Hasyim Asy’ari sebagai Ketua Jawatan Agama (Shumubu) yang diwakilkan kepada anaknya KH Abdul Wahid Hasyim, Nippon menyampaikan gagasannya itu kepada Kiai Hasyim Asy'ari.

Baca Juga: Muhammadiyah : Pancasila Sudah Sejalan, Senafas dan Sejiwa dengan Islam

Setelah melalui berbagai pertimbangan, Kiai Hasyim Asy'ari menyetujui langkah Jepang tersebut dengan syarat para pemuda yang dilatih militer itu berdiri sendiri tidak masuk dalam barisan Jepang. Itulah awal terbentuknya laskar yang diberi nama oleh Kiai Hasyim Asy'ari sebagai Laskar Hizbullah.

Laskar Hizbullah ini dibentuk pada November 1943 beberapa minggu setelah pembentukan tentara PETA (Pembela Tanah Air).

Meski kedua badan kelaskaran itu berdiri sendiri, tetapi secara teknik militer berada di satu tangan seorang perwira intelijen Nippon, Kapten Yanagawa.

Baca Juga: Gus Maksum, Pendekar Pencak Silat NU Penumpasan PKI

Sebagai seorang kiai, Hadratussyekh Kiai Hasyim Asy’ari cukup mumpuni dalam strategi perang. Di saat sejumlah orang memandang bahwa keputusan Kiai Hasyim merupakan simbol ketundukan kepada Jepang karena menyetujui para santri dilatih militer oleh Jepang.

Namun di balik semua itu, guru para kiai di tanah Jawa ini ingin mempersiapkan para pemuda secara militer melawan agresi penjajah ke depannya. Betul saja apa yang ada di dalam pikiran Kiai Hasyim Asy'ar. Jepang menyerah kepada sekutu. Namun Indonesia menghadapi agresi Belanda II. Di saat itulah para pemuda Indonesia melalui Laskar Hizbullah, dan lain-lain sudah siap menghadapi perang dengan tentara sekutu dengan bekal gemblengan ‘gratis’ oleh tentara Jepang.

KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013) mencatat, saat itu Angkatan pertama Hizbullah dilatih daerah Cibarusa, dekat Cibinong, Bogor awal tahun 1944 diikuti oleh 150 pemuda. Mereka datang dari Karesidenan di seluruh Jawa dan Madura yang masing-masing mengirim 5 orang pemuda.

Baca Juga: Samar-Samar Penglihatan SUV Bongsor, Hyundai Seperti Nya Sudah Gatal Ingin Meluncurkan Ioniq 7.

Pusat latihan Hizbullah di Cibarusa itu dikeola oleh Markas Tertinggi Hizbullah yang dipimpin oleh Zainul Arifin. Sebagai sebuah strategi perang, latihan ini perlu dilakukan oleh sebanyak-banyaknya pemuda. Namun, disayangkan latihan Hizbullah ini diselenggarakan secara minim sekali. Kondisi ini menjadi perhatian serius KH Wahid Hasyim sebagai penanggung jawab politik dalam Laskar Hizbullah.

“Kita dikejar waktu. Nippon sebenarnya mencurigai tujuan Hizbullah. Yang menyetujui Hizbullah kan cuma kita,” ucap Kiai Wahid mengemukakan kegelisahannya. Tetapi, ayah dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini tidak mau ketinggalan kereta. Walau bagaimana pun, perjuangan kemerdekaan harus dipersiapkan, baik kekuatan militernya, di samping kekuatan politiknya.

Kekuatan politik yang dimaksud ialah politik kenegaraan yang berkepentingan memerdekakan Indonesia dari kungkungan penjajah. Langkah ini membutuhkan ongkos yang tidak sedikit.

Baca Juga: Prakiraan Cuaca Hari Sabtu 2 Oktober 2021 untuk Wilayah Bogor dan Sekitarnya

Pertempuran mencapai puncaknya di Surabaya pada 10 November 1945 yang saat ini diresmikan menjadi Hari Pahlawan Nasional. Momen tersebut tidak terlepas dari pencetusan Fatwa Resolusi Jihad NU oleh Kiai Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945.

Resolusi Jihad Kiai Hasyim Asy’ari menggerakkan seluruh elemen bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan dari Agresi Militer Belanda kedua yang membonceng Sekutu. Sebelumnya, pada 19 September 1945 banyak orang rela mati dalam peristiwa penyobekan bagian biru dari bendera Belanda di Hotel Yamato Surabaya. Sebelum datang Brigade 49 Divisi India Tentara Inggris pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby, kalangan santri merasa tentara asing akan datang dan perang tak bisa dihindarkan. Di Surabaya yang panas pada akhir Oktober 1945, para kiai pun berkumpul. Mereka terus berkomitmen bagi kemerdekaan bangsa Indonesia dari segala bentuk penjajahan. Setidaknya waktu itu Wahid Hasyim, anak dari Rais Akbar NU Kiai Hasyim Asy'ari, adalah Menteri Agama Republik Indonesia sejak September 1945.

Kiai Hasyim Asy'ari sendiri merupakan salah satu ulama besar dari pesantren yang berpengaruh sejak zaman kolonial Belanda hingga pendudukan Jepang pada 1942. Martin van Bruinessen dalam NU. Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (1994) mencatat, pada tanggal 21 dan 22 Oktober 1945, wakil-wakil cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya dan menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai jihad (perang suci).

Baca Juga: Kapal Malaysia Disergap, Nelayan Indonesia Pelaku Ilegal Fhising.

Dalam pertemuan itu lahirlah Resolusi Jihad NU 22 Oktober yang menjadi dasar penetapan Hari Santri. Resolusi Jihad punya berdampak besar di Jawa Timur. Pada hari-hari berikutnya, ia menjadi pendorong keterlibatan santri dan jamaah NU untuk ikut serta dalam pertempuran 10 November 1945. KH Saifuddin Zuhri dalam Guruku Orang-orang dari Pesantren (2001) menjelaskan bahwa hampir bersamaan ketika terjadi perlawanan dahsyat dari laskar santri dan rakyat Indonesia di Surabaya pada 10 November 1945, rakyat Semarang mengadakan perlawanan yang sama ketika tentara Sekutu juga mendarat di ibu kota Jawa Tengah itu.

Dari peperangan tersebut, lahirlah pertempuran di daerah Jatingaleh, Gombel, dan Ambarawa antara rakyat Indonesia melawan Sekutu. Kabar pecahnya peperangan di sejumlah daerah tersebut juga tersiar ke daerah Parakan. Dengat niat jihad fi sabilillah untuk memperoleh kemerdekaan dan menghentikan ketidak perikemanusiaan penjajah, Laskar Hizbullah dan Sabilillah Parakan ikut bergabung bersama pasukan lain dari seluruh daerah Kedu.

Setelah berhasil bergabung dengan ribuan tentara lain, mereka berangkat ke medan pertempuran di Surabaya, Semarang, dan Ambarawa. Namun sebelum berangkat, mereka terlebih dahulu mampir ke Kawedanan Parakan guna mengisi dan memperkuat diri oleh berbagai macam ilmu kekebalan dari seorang ulama tersohor di daerah Parakan, Kiai Haji Subchi. Didorong semangat jihad yang digelorakan oleh Kiai Hasyim Asy’ari melalui Resolusi Jihad NU serta kesadaran agar terlepas dari belenggu penjajahan untuk masa depan anak-anak dan cucu-cucu di Indonesia, Kiai Subchi memberikan bekal berupa doa kepada barisan Hizbullah dan Sabilillah. Tentara Allah itu berbaris dengan bambu runcingnya dan masing-masing mereka ‘diberkahi’ oleh doa Kiai Subchi yang disepuhkan ke bambu runcing.

Baca Juga: Loket Pelayanan Kosong, BPN Kabupaten Bogor Dikeluhkan

Ulama NU menegaskan bahwa umat dan ulama di banyak tempat punya hasrat besar untuk menegakkan agama Islam dan mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. Niat itu tertuang dalam pertimbangan Resolusi Jihad bahwa, “mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum Agama Islam, termasuk sebagai satu kewadjiban bagi tiap tiap orang Islam.” (Lihat Abdul Mun’im DZ, Piagam Perjuangan Kebangsaan, 2011) Resolusi Jihad tersebut juga menegaskan, “memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaja menentukan suatu sikap dan tindakan nyata serta sebadan terhadap usaha-usaha jang akan membahayakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki-tangannya.”

Sejak lama, bagi NU dan ulama pesantren segala bentuk penjajahan harus dilawan karena baik Belanda maupun Jepang telah berbuat kezaliman kepada rakyat Indonesia.

Setelah pertempuran 10 November 1945 berlalu, Resolusi Jihad NU terus digelorakan. Dalam Muktamar ke-16 Nahdlatul Ulama pada 26-29 Maret 1946 di Purwokerto, Jawa Tengah seperti disebut dalam buku Jihad membela Nusantara: Nahdlatul Ulama Menghadapi Islam Radikal dan Neo-Liberalisme (2007), Kiai Hasyim Asy'ari kembali menggelorakan semangat jihad di hadapan para peserta muktamar (muktamirin). “Tidak akan tercapai kemuliaan Islam dan kebangkitan syariatnya di dalam negeri-negeri jajahan,” kata Kiai Hasyim Asy’ari. Demikian jelas bahwa syarat tegaknya syariat Islam adalah kemerdekaan dari penjajah asing.   Keberadaan penjajah dianggap Kiai Hasyim Asy’ari akan menyulitkan penegakan syariat Islam.

Baca Juga: Bongkar Serangan Santet Dengan Kopi Hitam, Begini Caranya

 

Perjuangan ini merupakan kristalisasi dan wujud hubbul wathon minal iman (cinta tanah air bagian dari iman) yang juga dicetuskan Kiai Hasyim Asy’ari, bahwa perjuangan mempertankan kemerdekaan dan kedaulatan negara merupakan kewajiban agama.***

 

 

Sumber: NU

Halaman:
1
2
3

Editor: Imam Shodiqul Wadi

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

5 Doa Pilihan yang Cocok Dibaca Selama Ramadhan

Sabtu, 6 April 2024 | 06:00 WIB
X