“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki waktu subuh, sementara beliau sedang junub karena berhubungan dengan istrinya. Kemudian, beliau mandi dan berpuasa.” (HR. Bukhari 1926 dan Turmudzi 779).
At-Tirmidzi setelah menyebutkan hadis ini, beliau mengatakan:
وَالعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ العِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَغَيْرِهِمْ، وَهُوَ قَوْلُ سُفْيَانَ، وَالشَّافِعِيِّ، وَأَحْمَدَ، وَإِسْحَاقَ
Inilah yang dipahami oleh mayoritas ulama di kalangan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang lainnya. Dan ini merupakan pendapat Sufyan At-Tsauri, As-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq bin Rahuyah. (Sunan At-Tirmidzi, 3/140).
Sahur dalam keadaan junub
Dari penjelasan di atas, Ustadz Ammi lalu menyimpulkan bahwa mandi wajib tidak harus selalu dilakukan sebelum sahur atau subuh. Dengan demikian, seseorang boleh saja melakukan mandi wajib atau mandi besar setelah subuh, dan puasanya tetap sah. Dengan kata lain, kita diperbolehkan untuk mendahulukan sahur dan menunda mandi wajib.
Hanya saja, sebelum sahur, Ustadz Ammi menganjurkan kita untuk berwudhu terlebih dahulu. Hal ini sebagaimana keterangan dari Aisyah radhiallahu ‘anha, yang mengatakan:
كان رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا كان جنبا فأراد أن يأكل أو ينام توضأ وضوءه للصلاة
“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam kondisi junub, kemudian beliau ingin makan atau tidur, beliau berwudhu sebagaimana wudu ketika hendak salat.” (H.r. Muslim, 305).