Sedangkan dalam konsep paraning dumadi, terselip keyakinan bahwa, kelak entitas tersebut juga menjadi tujuan dan tempat kembali. Karena itulah, kedua konsep itu seringkali disatukan dan dirumuskan dalam ungkapan sangkan paraning dumadi.
Hal ini selaras dengan pandangan metafisika Jawa tentang proses kehidupan yang terjadi dalam lima tahap.
Proses-proses tersebut adalah asaling dumadi, sangkaning dumadi, purwaning dumadi, tataraning dumadi dan terakhir paraning dumadi.
Setelah melalui kelima proses ini, manusia akan menemukan kenikmatan tiada tara, yaitu saat terjadi peristiwa sengseming kerongkong (Sastroamidjaja, 1972).
Namun tak semua orang bisa merasakan keadaan ini. Setiap orang akan memetik sesuatu sesuai yang ia tanam. Orang yang berbuat kebaikan akan menemukan karmapala padhang.
Sebaliknya orang yang berbuat durjana akan menemukan karmapala pĂȘtĂȘng. Yang terakhir ini, menandai bahwa selama perjalanan hidupnya, seseorang tidak mengikuti tuntunan Dzat Sejati.
Oleh karena itu, orang Jawa senantiasa berusaha menjalankan kewajiban yang telah dititahkan oleh Pencipta, yaitu menjalani hidup dengan baik dan benar.
Kewajiban ini kemudian dirumuskan dalam ungkapan mamayu hayuning bawana (memelihara kebaikan dunia).
Kewajiban itu hanya bisa terlaksana jika dilandasi dua rasa asih ing sasami dan sepi ing pamrih, rame ing gawe.