HARI SANTRI: RESOLUSI JIHAD 1945 BELUM SELESAI

- Jumat, 23 Oktober 2020 | 13:23 WIB
images (11)
images (11)




Sebagai langkah awal, akan lebih mudah jika memulai segalanya dengan pertanyaan “apakah Indonesia sudah merdeka ?” tentu kita semua dengan sangat yakin untuk menjawab “Iya, kita sudah merdeka”. Namun bagaimana jika pertanyaannya sedikit diubah. “apakah Bangsa Indonesia, telah benar-benar merdeka ?” seketika kita tentu akan menelan ludah sejenak dan berusaha meninjau kembali pertanyaan tersebut. Dam akhirnya sedikit ragu – ragu untuk menjawab “sek sek tak mikir sek. Disini penulis tak ingin terlalu jauh membahas makna kemerdekaan, namun sekedar menjadikan hal tersebut sebagai bahan refleksi dalam merenugi makna Resolusi Jihad.






Islam sebagai dien yang memberikan arahan perilaku yang mengatur tidak hanya hubungan manusia dan tuhan (Habl mminallah), manusia dengan manusia (Habl Minannas), bahkan manusia dengan alam (Habl minal alam).
Nahdlotul Ulama sebagai organisasi masyrakat dibidang keagamaan yang menjadikan Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai manhaj al fikr dan manhaj al harakah melahirkan semangat nasionalisme dan berbuah kepada islam kebangsaan yang menjunjung nilai-nilai kemanusian dan kemerdekan dengan memegang teguh prinsip Tawassuth (tengah-tengah), Tawazun (seimbang), I'tidal (tegak lurus), dan Tasamuh (toleransi).






Dan akan terkesan sangat mengkerdirkan jika Resolusi Jihad hanya disebut sebagai bentuk sikap defensive belaka. Karena pada dasarnya Resolusi Jihad adalah suatu hasil dari perenungan dan penghayatan nilai nilai islam kebangsaan. Sebgaimana Islam sebagai rahmatan lil a’lamin (rahmat untuk seluruh alam), yang yang kemudian di elaborasikan sebagai pengakuan terhadap al-huquq al-insaniyyah (hak asasi manusia) yang meliputi ushul al-khams (5 Hak dasar) antara lain;
Hifdhud dîn memberikan jaminan hak kepada umat Islam untuk memelihara agama dan keyakinannya (al-din). Sementara itu Islam juga menjamin sepenuhnya atas identitas (kelompok) agama yang bersifat lintas etnis, oleh karena itu Islam menjamin kebebasan beragama, dan larangan adanya pemaksaan agama yang satu dengan agama lainnya.





Hifdhun nafs wal ’irdh memberikan jaminan hak atas setiap jiwa (nyawa) manusia, untuk tumbuh dan berkembang secara layak. Dalam hal ini Islam menuntut adanya keadilan, pemenuhan kebutuhan dasar (hak atas penghidupan) pekerjaan, hak kemerdekaan, dan keselamatan, bebas dari penganiayaan dan kesewenang-wenangan.





Hifdhul ‘aql adalah adanya suatu jaminan atas kebebasan berekspresi, kebebasan mimbar, kebebasan mengeluarkan opini, melakukan penelitian dan berbagai aktivitas ilmiah. Dalam hal ini Islam melarang terjadinya perusakan akal dalam bentuk penyiksaan, penggunaan ekstasi, minuman keras dan lain-lain.





Hifdhun nasl merupakan jaminan atas kehidupan privasi setiap individu, perlindungan atas profesi (pekerjaan), jaminan masa depan keturunan dan generasi penerus yang lebih baik dan berkualitas. Free sex, zinah menurut syara’, homoseksual, adalah perbuatan yang dilarang karena bertentangan dengan hifdh al-nasl.





Hifdhul mâl dimaksudkan sebagai jaminan atas pemilikan harta benda, properti dan lain-lain. Dan larangan adanya tindakan mengambil hak dari harta orang lain, seperti mencuri, korupsi, monopoli, oligopoli, monopsoni dan lain-lain.
Kelima hak dasar diataslah yang kemudian Santri dan Ulama berusaha untuk lindungi ketika Resolusi Jihad. Kembali kepertantanyaan diawal, apakah Resolusi Jihad telah selesai ? secara normative, dengan berhasilnya memukul mundur pasukan sekutu yang berniat menjajah kembali Indonesia setelah menyatakan kemerdekaannya, mungkin bisa dibilang Resolusi Jihad telah selesai. Namun tentu tidak sesederhana itu, mengutip kalimat legendars dari Bung Karno, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.". pada akhirnya Resolusi Jihad bukanlah melawan Negara (red Inggris dan Belanda) namun melawan segala bentuk ketidakadilan, penjajahan, keserakahan, kedzoliman, dan segala bentuk kemungkaran yang ada. Khoirunnas anfa'uhum linnas, sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain. Itulah yang menjadi semangat generasi Santri dan ulama yang kemudian melahirkan satu krodo yang sangat nasionlis “DARI SANTRI UNTUK NEGERI”. Layaknya ulama terdahulu, seharusnya generasi muda muda muslim, khususnya generasi muda NU meneruskan perjuangan untuk turut aktif dan dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan dan berpatisipatif dalam kehidupan bangsa dan bernegara.






Peran aktif dan parsitipatif generasi muda NU inilah yang menurut penulis masih menjadi PR kita bersama. Karena sulit di pungkiri, paling tidak melalui pengamatan penulis yang kebetulan masih duduk dibangku perkuliahan melihat demikan. Begitu banyak dari generasi muda NU yang seakan acuh tak acuh terhadap dinamika bangsa yang setiap hari seakan terus bertambah. Bahkan tidak sedikit yang mengambil sikap berbodo amat dengan realita yang ada. Segala yang berkaitan dengan politik dianggap sebagai suatu hal yang busuk maka dari itu harus dijauhi.
Tentu pendapat demikian dapat dimaklumi, mengingat NU memiliki pengalaman kelam yang berkaitan dengan politik dimasa lampau hingga akhirnya memutuskan untuk kembali khittah. Meskipun demikian, bukan berarti segala sikap anti pati terhadap persolan kebangsaan dapat dibenarkan. Generasi muda NU seharusnya paham bahwa dalam menjalankan prisnip-prinsip islam kebangsaan menjadikan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai manhaj al fikr wal harakah yaitu memandang aswaja sebagai sebuah metode berfikir dan bertindak dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial kemasyarakatan.

Halaman:

Editor: Imam Shodiqul Wadi

Rekomendasi

Terkini

Gandeng Pemuda, PMII INAIS Gelar Pesantren Kilat

Minggu, 31 Maret 2024 | 16:13 WIB

Gaspool, Jaro Ade Siapkan Tim Sukses

Sabtu, 30 Maret 2024 | 06:00 WIB
X