HARI SANTRI: RESOLUSI JIHAD 1945 BELUM SELESAI

- Jumat, 23 Oktober 2020 | 13:23 WIB
images (11)
images (11)





Bahkan ada segenlintir dari generasi muda NU (salah satunya kawan penulis) yang menelan mentah-mentah suatu ayat “wahai orang-orang beriman, taatilah allah dan rasul, dan ulil amri diantara kamu…. (QS An-Nisa’:59)” hingga berada pada kesimpulan tidak menaati perintah pemimpin adalah suatu larangan dan pada akhinrya menutup setiap ruang untuk mengiptrupsi kebijakan pemerintah dengan menganggapnya sebagai suatu kebenaran yang tidak boleh ditentang. Tentu ini adalah suatu keadaan yang sangat miris. Lantas apakah benar demikian ? bagaimana jika pemerintah adalah pemerintah yang dzolim ? bagaimana jika kebijakan yang terapkan menyengsarakan dan merenggut 5 hak dasar orang banyak
Dalam hal ini penulis sedikit berbeda pandangan dengan dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D. yang mengatakan ditulisannya dalam menghadapi pemimpin yang dzalim sekalipun, kita tetap harus mentaati segala kebijakannya meskipun kebijakan tersebut menyengsarakan dan merenggut apa yang sudah semestinya milik umat dengan mengutip hadist berikut :






Sahabat ‘Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا: أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah kepada kami dan kami pun berbaiat kepada beliau. Maka Nabi mengatakan di antara poin baiat yang beliau ambil dari kami, Nabi meminta kepada kami untuk mendengar dan taat kepada penguasa, baik (perintah penguasa tersebut) kami bersemangat untuk mengerjakannya atau kami tidak suka mengerjakannya, baik (perintah penguasa tersebut) diberikan kepada kami dalam kondisi sulit (repot) atau dalam kondisi mudah (lapang), juga meskipun penguasa tersebut mementingkan diri sendiri (yaitu, dia mengambil hak rakyat untuk kepentingan dirinya sendiri dan kroni-kroninya, pen.), dan supaya kami tidak merebut kekuasaan dari pemegangnya (maksudnya, jangan memberontak, pen.). Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata (tampak terang-terangan atas semua orang, pen.), dan kalian memiliki bukti di hadapan Allah Ta’ala bahwa itu adalah kekafiran.” (HR. Bukhari no. 7056 dan Muslim no. 1709)






Oleh sebab itu beliau juga mengatakan sebagai seorang muslim, jika menghadapi pemimpin yang seperti diatas, kita harus tetap taat dan cukup memohon kepada allah atas apa yang tidak kita peroleh dari pemerintah dzolim tersebut dengan mengutip hadist berikut ;
سَتَكُونُ أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا
“Sesungguhnya akan terjadi sepeninggalku adanya (penguasa) yang lebih mementingkan pribadinya (dengan menelantarkan hak rakyat, pen.) dan berbagai kemunkaran (yang dilakukan oleh penguasa, pen.) yang kalian ingkari (karena hal itu adalah maksiat dan kemunkaran, pen.).”
Para sahabat radhiyallahu ‘anhum mengatakan, “Bagaimanakah yang Engkau perintahkan kepada siapa saja di antara kami yang menjumpai masa-masa itu?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تُؤَدُّونَ الحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ، وَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الَّذِي لَكُمْ
“Tunaikanlah kewajiban kalian (berkaitan dengan hak penguasa, pen.), dan mintalah hak kalian kepada Allah Ta’ala (yang tidak diberikan oleh penguasa, pen.).” (HR. Bukhari no. 3603 dan Muslim no. 1843. Lafadz hadits ini milik Muslim.).
Menanggapi hal diatas penulis agak tidak sependapat dengan dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D karena bagaimanapun konteks hadis diatas tidak relevan jika dihadapkan dengan Indonesia menggunakan system pemerintahan Negara hukum dan Demokrasi. Penggunaan hadist diatas kurang lebih sama dengan menggunakan hadist larangan menggunakan pakaian yang panjangnya lebih dari mata kaki karena hal tersebut menunjukkan kesombongan. Pertanyaannya apakah hal ini masih relevan ? tentu saja tidak. Pemerintahan demokrasi memposisikan pemerintah (pemimpin) dan rakyat dengan kedudukan yang sama, berangkat dari “setiap manusia bisa tidak luput dari salah”, demokrasi mempunyai ruang untuk mengintrupsi setiap kebijakan dari pemimpin karena pengertian demokrasi, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Dan hal ini tentunya ini sangat berbeda dengan system Negara monarki (kerajaan) yang memandang hubungan antara pemerintah (pemimpin) dan rakyat bukanlah suatu relasi timbal balik dan menuntut pepatuhan penuh. Hal ini dapat dibuktikan dari hal yang sangat sederhana, di system khilafah, kesultanan, atau kerajaan, yang dibaiat adalah umat (rakyat) sedangkan di system demokrasi yang dibaiat adalah pemimpin.






Penggunaan hadist diatas tidak pada tempatnya tentu akan sangat berbahaya jika salah dimaknai oleh generasi muda NU karena Penafsiran keliru sebagaimana diatas tak ubahnya seperti suatu tembok besar yang akan menghabat peran aktif generasi muda muslim dalam menerapkan islam kebangsaan yang selama ini dianut. Pada prinsipnya, berbicara tentang menanggapi kebijakan yang dibuat oleh penguasa dalam hal ini pemerintah, Negara demokrasi memberikan ruang seluas-luasnya untuk partisipasi publik atas kebijakan-kebijakan yang ada. Mengkritik dan mengoreksi kebijakan pemimpin adalah suatu keniscayaan bagi pemerintahan demoktratis yang memang pada mulanya terlahir sebagai revisi atas konsep pemerintahan kerajaan yang memposisikan raja diatas segalanya dan menganggap kehendak raja (penguasa) adalah kehendak tuhan dan menggantinya dengan suara rakyat adalah suara tuhan.






Masih menanggapi tentang tulisan dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D yang mengatakan adapun sikap ahlussunnah wal jama’ah terhadap kebijakan pemimpin yang dzolim, yaitu dengan memberikan nasihat didepan raja secara empat mata dengan mengutip hadist riwayat ibnu majah yang berbunyi;
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Jihad yang paling utama adalah mengungkapkan kalimat adil (kebenaran) disisi (didepan) pemimpin yang dzolim.






Atas dasar penafsiran tersebut, beliau tidak membenarkan sikap mengkoreksi pemerintah didepan umum / terang-terangan (demontrasi) dan segala bentuk koreksi kebijakan baik itu tulisan, opini, dimedsos dan lain lain. Tentu pendapat demikian sangat tekstual dan tidak sesuai dengan konteks Negara kita saat ini.
Dalam konteks hari ini, seharusnya generasi muda NU lebih berani bersikap atas setiap kebijakan-kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Sikap berpangku tangan dan sekedar berharap tidak dapat dibenarkan. Bukankah tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka sendiri berusaha merubahnya ?






Sebagai refleksi sejarah, terdapat begitu banyak contoh sikap mengoreksi kebijakan pemerintah sebutlah pemimpin. Sebagai contoh, kita tentu masih ingat dalam menjalankan islam kebangsaan KH.Abdurrahman Wahid (gusdur) kerap kali mengkritik bahkan tak ragu untuk mengambil sikap oposisi terhadap sektarianisme ala Orde Baru dan eksploitasi sentimen agama kala itu. Sikap tidak setuju dengan pemerintah juga pernah dilakukan oleh KH. Bisyri Syansuri ketika itu Presiden Soekarno ingin membubarkan Konstituante dan DPR kemudian membentuk DPR Gotong Royong, Kiai Bisri menganggap langkah Bung Karno itu ghosob (penjarahan) terhadap hak rakyat. Dan masih banyak lagi.


Halaman:

Editor: Imam Shodiqul Wadi

Rekomendasi

Terkini

Gandeng Pemuda, PMII INAIS Gelar Pesantren Kilat

Minggu, 31 Maret 2024 | 16:13 WIB

Gaspool, Jaro Ade Siapkan Tim Sukses

Sabtu, 30 Maret 2024 | 06:00 WIB
X