Konflik Rempang Eco-City: IPW Menilai Negara Gagal Memenuhi Prinsip UUD 1945

- Sabtu, 23 September 2023 | 23:14 WIB
Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso (Penulis/Febri Daniel Manalu)
Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso (Penulis/Febri Daniel Manalu)

Bogor Times - Konflik yang terjadi dalam unjuk rasa lantaran warga menolak pengembangan kawasan Rempang Eco-City di Kota Batam, Kepulauan Riau, menurut Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, mencerminkan kegagalan negara dalam menerapkan prinsip-prinsip dasar kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah diwujudkan dalam UUD Tahun 1945.

Sugeng Teguh Santoso menekankan bahwa prinsip hak negara atas bumi dan air serta kekayaan alam yang ada di dalamnya dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945, harus dimaknai dengan benar.

Menurut Sugeng Teguh Santoso prinsip ini harus dipahami sebagaimana ditegaskan dalam beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), termasuk Putusan MK No. 002/PUU-I/2003, Putusan MK No. 3/PUU-VIII/2010; dan Putusan MK No. 36/PUU-X/2012. Putusan-putusan ini pada intinya menegaskan bahwa rakyat secara kolektif dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Jadi jelas, bahwa Pasal 33 UUD 1945, menghendaki bahwa penguasaan negara itu harus berdampak pada sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Sebab, negara sangat mungkin melakukan penguasaan terhadap tanah dan sumber daya alam secara penuh tetapi tidak memberikan manfaat sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, kriteria konstitusional untuk mengukur makna konstitusional dari penguasaan negara adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Hal ini juga harus dilaksanakan di Rempang dan Galang. Penduduk dari 16 kampung tua yang telah ditempati sejak tahun 1834 oleh masyarakat suku Melayu dan suku-suku lain yang saat ini diperkirakan berjumlah 10.000 jiwa harus dimakmurkan dan sejahterakan oleh negara sesuai dengan UUD 1945.

Indonesia Police Watch (IPW) berpendapat bahwa pengembangan kawasan Rempang yang telah direncanakan sejak tahun 2004 melalui kerjasama antara BP Batam dan Pemerintah Kota Batam dengan PT Makmur Elok Graha (PT MEG), dimana PT MEG telah menyiapkan pelaksanaan investasi melalui Rempang Eco-City Development Strategy dengan rencana investasi sebesar kurang lebih Rp381 triliun dan ditindaklanjuti dengan menarik pemodal/investor dari Cina dengan Perjanjian Chengdu tanggal 28 Juli 2023, tidak serta-merta dapat dimaknai untuk kemakmuran rakyat, meskipun dimasukkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) berdasarkan Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.

Proyek Strategis Nasional (PSN) seharusnya berfokus pada kesejahteraan rakyat, bukan pada kepentingan kelompok swasta tertentu seperti PT MEG yang terafiliasi dengan pengusaha keturunan Tionghoa Tommy Winata. Terlebih lagi, pada tahun 2007, Polri pernah memeriksa Tommy Winata sebagai pihak yang mewakili PT. MEG terkait proyek Rempang Eco City dalam dugaan kasus korupsi yang merugikan keuangan negara. Penyelidikan kasus ini harus dibuka pada publik proses hukumnya.

Sebelumnya, telah terjadi bentrok antara Polisi dengan masyarakat yang mempertahankan hak hidupnya dan saat ini upaya pelibatan Polri dalam mempengaruhi masyarakat mendaftarkan diri untuk relokasi rakyat Rempang, bukanlah tugas Polri dan bertentangan dengan tugas, fungsi dan wewenang kepolisian berdasarkan UU No. 2 Tahun 2022 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Oleh karena itu, IPW mengingatkan agar Polri memahami landasan filosofis kelembagaan Polri yang berjiwa Tri Brata dan Catur Prasetya sebagai sumber nilai Kode Etik Kepolisian yang mengalir dari falsafah Pancasila. Tindakan Polri dalam menjaga ketertiban umum harus dilakukan dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai humanisme dan prinsip-prinsip Tri Brata dan Catur Prasetya, serta tidak menjadi alat kekuasaan yang represif dan intimidatif terhadap rakyat.

Polri sebagai institusi keamanan negara harus menahan diri untuk tidak terlibat lebih jauh dalam urusan pengosongan lahan dan harus menarik anggotanya dari tindakan yang menyakiti hati rakyat. Polri harus senantiasa melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban.

UUD 1945 memberikan mandat khusus kepada Institusi Kepolisian sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Sesuai Pasal 4 UU 2 tahun 2002 Tentang Polri, dalam mewujudkan tujuannya Polri wajib menjunjung tinggi HAM.

Sebagai hasil reformasi, melalui Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 Polri dipisahkan dari institusi TNI, reformasi kelembagaan ini dipertegas melalui UU 2 Tahun 2002 tentang Polri. Paradigma aparat negara seharusnya menjaga berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta kewajiban perlindungan dan pengayoman, semangat penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia.

Untuk memastikan implementasi penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia bagi pimpinan dan anggota Kepolisian Republik Indonesia, pimpinan Polri telah menerbitkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bahkan dalam Perkap tersebut menegaskan pengakuan institusi Polri atas keberadaan masyarakat adat dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya.

Budaya Lokal yang dimaksudnya dalam Peraturan Polri ini adalah adat, tradisi, kebiasaan atau tata nilai yang masih kuat dianut oleh masyarakat setempat dalam rangka memelihara keamanan, ketertiban dan ketenteraman di lingkungan warga masyarakat setempat. Yang dalam hal ini adalah komunitas masyarakat Melayu yg mendiami 16 kampung Tua.

Untuk itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus menempatkan Polri dalam perspektif ke depan sebagai lembaga keamanan sipil yang humanis, menghormati hak asasi manusia dan berpihak pada rakyat serta bisa menolak tekanan kekuasaan agar Polri tidak dinilai tidak berpihak pada rakyat.

Halaman:

Editor: Febri Daniel Manalu

Tags

Rekomendasi

Terkini

5 Doa Pilihan yang Cocok Dibaca Selama Ramadhan

Sabtu, 6 April 2024 | 06:00 WIB

Terpopuler

X