Kita sudah tidak asing dengan suara adzan, tarhim, sholawatan dan lain-lain menggema dari berbagai sudut masjid, musholla, juga majlis-majlis NU, dan kita tidak menemukan adanya problem sosial dari kebiasaan tersebut.
Untuk itu maka argumentasi pengaturan pengeras suara untuk merawat kesatuan semestinya dilakukan dan diberlakukan secara holistik lintas suku, lintas komunitas, lintas ormas, dan lintas keyakinan.
Jangan sampai pengaturan yang imparsialitas yang obyeknya hanya masjid dan musholla dikesankan sebagai tindakan tirani minoritas.
Pun juga untuk menciptakan kenyamanan, mestinya adat, tradisi, dan kebiasaan menjadi pijakan.
Di masjid-masjid perkotaan, perkantoran, kompleks dan lain-lain pengaturan pengeras suara bisa efektif.
Tapi tidak dengan diperkampungan, daerah dengan tradisi keagamaan yang kuat, justru suara-suara pengajian dari pengeras suara masjid dan musholla menciptakan kenyamanan, keteduhan, kekhidmatan.
Bahkan dibeberapa kawasan seperti Jawa dan Madura, masjid dan musholla yang tidak terdengar suara pengajian, sholawatan, dzikiran, suasananya menjadi mati dan dianggap setara dengan suasana 'kuburan'.*** Khitimi Bahri