Tahlilan Perspektif Historis, Sosiologis, Psikologis, dan Antropologis

- Jumat, 22 November 2019 | 14:51 WIB
IMG_20191122_142831
IMG_20191122_142831




            Kelima, beribadah  dan mencari ridha Allah SWT. Karena tahlil atau tahlilan ini niat kita untuk beribadah, mencari ilmu dan mencari rida Allah SWT. Bukan karena orang lain atau siapa-siapa, melainkan hanya semata karena Allah SWT.





Scientific Perspectives(Historis, Sosiologis, Psikologis, Antropologis)





Jika dilihat dalam perspektif historis, sebetulnya tradisi tahlilan itu bernuansa “islamisasi” yang dilakukan oleh para ulama’ atau para kiai dulu. Pada awal-walnya, atau bagi masyarakat sinkretis, jika ada salah satu dari keluarganya yang meninggal, maka pada malam-malam tertentu 1-7 hari, 40, 100, 1000 hari, mereka kumpul-kumpul, dan malah ada yang main domino segala.





Bahkan, konon, praktik munkarat seperti itu sampai sekarang masih ada pada sebagian masyarakat kita. Di sinilah kemudian, mereka diajak untuk berdoa dan membaca kalimah-kalimah tayyibah, meluruskan tradisi munkarat ke tradisi hasanat, dan begitulah seterusnya hingga kemudian ada gagasan para ulama’ untuk membuat panduan atau buku saku yang berisi bacaan yasin, tahlil, talqin, doa-doa dan al-aurad (wirid) yang banyak beredar di masyarakat sekarang ini.





Nah, masalahnya memang, apakah kita harus terikat dengan hitungan hari-hari di atas, yang sinkretis itu? Jawabnya tegas, tidak! Kita tidak harus mengikuti ketentuan hari-hari itu, boleh 8, 9, 39, 41, dst., jika kita tidak ingin dianggap terpengaruh oleh hitungan mereka.





Jika ditinjau dari aspek sosiologis, tahlilan itu merupakan relasi kemanusiaan yang tidak pernah pudar, karena tahlilan itu bagian dari media sosial atau medan budaya yang mengikat hubungan antarmanusia. Pada konteks ini, manusia menjadikan forum ini sebagai media komunikasi dan sosialisasi.





Jika dilihat dalam perspektif psikologis, sebetulnya tradisi tahlilan pada hari-hari selama berkabung itu sangat membantu bagi şahib al-muşibah, sebab pada hari-hari itu, 1-7 hari, bahkan 40 dan 100 hari keluarga yang ditinggal mati itu biasanya masih dirundung duka. Pada saat seperti itulah jika selama 1-7 hari diadakan tahlilan, maka mereka akan terhibur atau merasa banyak saudara. Di sinilah makna ta’ziyah itu, yang berarti menghibur (keluarga yang ditinggal mati).


Halaman:

Editor: Saepulloh

Tags

Rekomendasi

Terkini

Mencegah dan Mengatasi Korupsi dalam Perspektif Islam

Senin, 4 Desember 2023 | 22:03 WIB

Tips Memilih Buah Jeruk yang Manis

Rabu, 18 Oktober 2023 | 18:59 WIB

Karisma Ulama Yang Telah Runtuh

Jumat, 28 Juli 2023 | 15:27 WIB

Hati-hati! Embrio Kaum Khoarij

Jumat, 28 Juli 2023 | 15:22 WIB

Terpopuler

X