Tahlilan Perspektif Historis, Sosiologis, Psikologis, dan Antropologis

- Jumat, 22 November 2019 | 14:51 WIB
IMG_20191122_142831
IMG_20191122_142831



Jika ditinjau dari segi antropologis, sebetulnya manusia memiliki kecenderungan spiritual dan ritual, maka apa pun agama atau keprcayaan yang mereka anut, pasti memiliki keterikatan dengan sesuatu yang dianggap berkuasa di jagat raya ini, baca: Tuhan. August Comte dengan teori positivisme-nya mengatakan, bahwa manusia memiliki tahap berpikir, yaitu: teologis, mitis, dan positif.





Pada tahap teologis, manusia mempercayai adanya Tuhan penguasa jagat raya ini, Dialah yang mendatangkan malapetaka dan rizki, Dia bisa marah dan menyayangi hamba-Nya, dst. Supaya Tuhan  tidak marah dan mendatangkan malapetaka, maka Tuhan perlu diberi sesaji. Dalam kepercayaan agama ardhi (non wahyu) biasanya mereka menyajikan kepala kerbau atau nasi kuning yang menurut mereka dapat menolak malapetaka. Sesuai dengan perkembangan berpikir manusia, maka orang  modern semakin realistik dan positivistik sehingga ritual, mitis dan teologis ini semakin ditinggalkan.





Dalam konteks ini, manusia beragama (apapun agamanya) kecenderungan spiritual dan ritualistik ini pasti ada, dan ini bagian dari doktrin ajarannya. Maka dalam konteks tahlil, sebetulnya juga merupakan bagian dari ritualistik yang mendatangkan pahala dan kasih-sayang Tuhan. Karena dalam tradisi tahlilan itu sendiri kalimat-kalimat yang dibaca adalah kalimah thayyibah.





Memang, masih ada sebagian besar masyarakat muslim yang terpengaruh dengan hitungan hari itu. Boleh saja mengikuti hitungan itu, tetapi ini sebagai tradisi saja, bukan ketetntuan syara’. Dan juga, ini harus jangan berlebihan sehingga membelenggu (sampai kemudian ada yang memaksakan diri hutang-hutang hanya untuk menjamu jamaa’h).





Tetapi sebetulnya tanpa hutang pun kalau mau sederhana, bisa saja. Karena tradisi di masyarakat kita, siapa saja yang ditinggal mati salah satu keluarganya (sahib al-musibah) banyak tetangga dan handaitolan, sanak, kerabat, kollega yang bersedekah, membawa sembako (untuk persediaan tahlilan itu). Jadi sebenarnya tidak memaksa jika dilihat dari tradisi ini.





Dan yang jauh lebih penting dari ini semua adalah, bahwa sebelum meninggal, keluarga kita memang harus diberi bekal untuk dididik agama dan taat beragama. Jangan setelah meninggal baru dikirim doa dan menganggap urusan akhirat selesai, sementara waktu masih hidup mengabaikan perintah agama


Halaman:

Editor: Saepulloh

Tags

Rekomendasi

Terkini

Mencegah dan Mengatasi Korupsi dalam Perspektif Islam

Senin, 4 Desember 2023 | 22:03 WIB

Tips Memilih Buah Jeruk yang Manis

Rabu, 18 Oktober 2023 | 18:59 WIB

Karisma Ulama Yang Telah Runtuh

Jumat, 28 Juli 2023 | 15:27 WIB

Hati-hati! Embrio Kaum Khoarij

Jumat, 28 Juli 2023 | 15:22 WIB

Terpopuler

X