Sederhananya, risala Rosul adalah rahmat. Senyum Rosul adalah rahmat, dan kalaupun marah, marahnya Rosul adalah rahmat, dalam arti terkendali, obyektif, tidak berlebihan, tidak emosional, tidak melampaui batas, dan tetap ada muatan harapan baik dimasa mendatang.
Maka sangat disayangkan apa yang disampaikan Habib Riziek Shihab kepada pengikutnya, baik yang mengelola masjid, musholla, lembaga pendidikan, majlis taklim, agar pada tanggal 7 Desember, bersama-sama mendoakan kehancuran bagi yang terlibat kasus penembakan 6 laskar FPI di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek.
Anjuran ini justru menyalahi syariat Islam. Disamping proses hukum sedang berjalan, dan kita tidak sepenuhnya membenarkan atau menyalahkan aparat. Tentu apa yang terjadi di KM 50 dilatar belakangi oleh kejadian-kejadian sebelumnya.
Dan yang pasti, baik aparat, korban, maupun masyarakat tidak menginginkan semua itu terjadi. Pasti masing-masing pihak punya argumentasi, landasan dan pijakan alasan. Apalagi aparat penegak hukum yang sudah dibekali Protap dan SOP yang terukur, terstruktur, dan sistematis. Biarlah proses hukum yang akan memutuskan.
Pun juga, mendoakan kehancuran bagi orang lain, hatta yang kita anggap berbuat aniaya, tidaklah dibenarkan agama.
Tidakkah Habib Riziek Shihab membaca beberapa nash dan dalil yang melarang umat Islam mendoakan kehancuran bagi umat Islam yang lain.
Apalagi umat Islam tersebut belum terbukti bersalah dan hanya berdasarkan dugaan-dugaan subyektif belaka? Bahkan terhadap yang sudah pasti secara kasat mata berbuat aniaya kepada kita, agama masih meminta kita adil, bijak, tidak berlebihan apalagi menghendaki kehancurannya.
Disinilah perlunya kita mengelola jiwa dari keperibadian Gapasioneerden dan Neveurzen agar letupan-letupan emosional tidak menghilangkan kewarasan rasionalitas kita.
Allah ta’ala berfirman;
“Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya (terdzolimi), dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
(QS An-Nisa 148)
Hasan Al-Bashri rohimahulloh mengatakan Jangan mendoakan (keburukan) padanya (orang yang mendzolimi kita), tapi katakanlah “Yaa Allah tolonglah aku atasnya” atau “Keluarkan hak ku darinya”.
Dalam riwayat lain disebutkan, telah diberi keringanan (dibolehkan) untuk mendoakan keburukan pada orang yang mendzoliminya selama tidak melampaui batas (tidak berlebihan).
(Tafsir Ibnu Katsir 2/443)
Baca Juga: Ibadah Sholat, Tatacara dan Penentuan Waktunya
Imam Al-Ghazali menjelaskan, mendoakan atau mengharapkan kebinasaan atau keburukan atas diri orang lain, adalah perbuatan tercela dalam syariat Islam.
Kitab Ihya Ulumiddin al-Ghazaly menegaskan: "Dekat dengan laknat adalah mendoakan keburukan untuk orang, termasuk mendoakan orang yang berbuat zalim, seperti doa seseorang, ‘Semoga Allah tidak menyehatkan badannya,’ ‘Semoga Allah tidak memberikan keselamatan untuknya,’ atau doa keburukan sejenisnya karena semua itu adalah perbuatan tercela.
Disebutkan dalam hadits, ‘Sungguh, orang yang teraniaya mendoakan keburukan untuk orang yang menganiaya sampai lunas terbayar, tetapi yang tersisa kemudian adalah kelebihan hak orang yang berbuat aniaya atas orang yang teraniaya pada hari kiamat,’” (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’i Ulumiddin, juz IX, halaman 1569).
Artikel Terkait
HIMAKSUKMA dan PBSM Gelar Kegiatan Sosial, Donor Darah Bersama PMI Kabupaten Bogor
Warga Geram Jalan Raya Cogreg Berlumpur Dampak dari Proyek RSUD Bogor Utara, Jamaah Majelis Ancam Demo
Peringati Hari Menanam Indonesia, INSPIRA Bogor dan Karang Taruna Bantarsari Tanam Tanaman Pangan
Memperingati Hari Lahir KOPRI ke-54, STAI Al Aulia Adakan Santunan Yatim.
Ibadah Sholat, Tatacara dan Penentuan Waktunya