Mantan Direktur Utama PT Pertamina Ditetapkan sebagai Tersangka dalam Kasus LNG dengan Kerugian Rp 2,1 T

- Selasa, 19 September 2023 | 23:11 WIB
OTT KPK (Antara/HO-Humas KPK)
OTT KPK (Antara/HO-Humas KPK)

Kasus ini mengguncang dunia bisnis dan menimbulkan pertanyaan tentang tata kelola perusahaan serta pentingnya keterbukaan dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan bisnis di perusahaan BUMN. Sebagai salah satu perusahaan BUMN terbesar di Indonesia, PT Pertamina Persero dihadapkan pada tuntutan untuk memperbaiki tata kelola perusahaan guna mencegah kasus serupa di masa depan.

Kasus yang menimpa mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Karen Agustiawan, terkait pengadaan liquefied natural gas (LNG) terus mengejutkan. Sorotan utama dalam kasus ini adalah keputusan kontroversial yang diambil Karen Agustiawan selama masa jabatannya, keputusan yang saat ini menjadi fokus penyelidikan KPK.

Karen Agustiawan memimpin PT Pertamina Persero dari tahun 2009 hingga 2014. Pada sekitar tahun 2012, perusahaan ini menghadapi tantangan besar terkait defisit gas di Indonesia yang diperkirakan akan berlangsung hingga tahun 2040. Sebagai solusi, Pertamina merencanakan pengadaan LNG.

Yang menjadi perhatian adalah langkah Karen Agustiawan dalam menjalin kontrak perjanjian perusahaan dengan Corpus Christi Liquefaction (CCL) LLC dari Amerika Serikat. Keputusan ini dianggap kontroversial dan melanggar berbagai ketentuan hukum dan tata kelola perusahaan:

1. Tanpa Persetujuan Pemerintah: Salah satu aspek yang mencolok dalam kasus ini adalah bahwa keputusan tersebut diambil tanpa persetujuan dari pemerintah. Karen Agustiawan secara sepihak menjalin kontrak dengan CCL LLC Amerika Serikat tanpa melibatkan pihak berwenang yang seharusnya memberikan persetujuan.

2. Absennya Laporan ke Dewan Komisaris: Karen Agustiawan juga tidak melaporkan langkahnya kepada Dewan Komisaris PT Pertamina Persero. Ini menciptakan kekurangan dalam pengawasan internal perusahaan dan meningkatkan risiko keputusan yang tidak terkendali.

Akibat dari keputusan kontroversial ini, seluruh kargo LNG yang dibeli dari CCL LLC Amerika Serikat tidak terserap di pasar domestik Indonesia. Hal ini menyebabkan oversupply LNG yang harus dijual di pasar internasional dengan harga yang lebih rendah, yang pada gilirannya mengakibatkan kerugian keuangan negara yang diperkirakan mencapai Rp 2,1 triliun.

Menurut Firli Bahuri, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tindakan Karen Agustiawan telah berdampak pada kerugian keuangan negara yang mencapai triliunan rupiah. Kondisi oversupply LNG yang harus dijual dengan kondisi merugi di pasar internasional oleh PT Pertamina Persero menjadi salah satu permasalahan yang mencuat dalam kasus ini.

Keputusan kontroversial Karen Agustiawan juga dinilai melanggar beberapa ketentuan hukum, termasuk:

1. Akta Pernyataan Keputusan RUPS Tanggal 1 Agustus 2012 tentang Anggaran Dasar PT Pertamina Persero: Keputusan Karen Agustiawan dalam menjalin kontrak dengan CCL LLC Amerika Serikat diyakini bertentangan dengan ketentuan yang telah disetujui dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Pertamina Persero.

2. Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-05/MBU/2008 tanggal 3 September 2008: Keputusan tersebut juga terlihat melanggar peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terkait dengan pengelolaan perusahaan BUMN.

3. Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-01/MBU/2011 tanggal 1 Agustus 2011: Peraturan Menteri BUMN yang dikeluarkan pada tahun 2011 juga menjadi patokan dalam menilai tindakan Karen Agustiawan yang dianggap melanggar.

4. Permeneg BUMN Nomor PER-03/MBU/08/2017 tentang Pedoman Kerja Sama BUMN: Pedoman ini mengatur berbagai aspek kerja sama yang melibatkan BUMN, dan tindakan Karen Agustiawan terhadap CCL LLC Amerika Serikat dinyatakan tidak sesuai dengan pedoman ini.

Ketua KPK Firli Bahuri juga mengungkapkan bahwa kerugian keuangan negara akibat tindakan ini mencapai sekitar USD 140 juta, yang setara dengan Rp 2,1 triliun. Karen Agustiawan saat ini dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Kasus ini terus memicu perdebatan mengenai tata kelola perusahaan dan pentingnya akuntabilitas dalam pengambilan keputusan bisnis di perusahaan BUMN di Indonesia. Pihak berwenang akan terus memantau perkembangan penyelidikan untuk memastikan keadilan dan akuntabilitas.

Halaman:

Editor: Febri Daniel Manalu

Tags

Rekomendasi

Terkini

5 Doa Pilihan yang Cocok Dibaca Selama Ramadhan

Sabtu, 6 April 2024 | 06:00 WIB
X