Ulama Berbeda Sikap Soal Tempat Ibadah Non Muslim

- Kamis, 21 April 2022 | 23:30 WIB
Tempat Ibadah (Pixabay)
Tempat Ibadah (Pixabay)

Dalam tafsir Jami al-Ahkam karya al-Qurthubi, dinyatakan bahwa tafsir dari ayat “Laû lâ daf’ullahu...dst” adalah bahwa jika tidak ada perintah kepada muslim untuk memerangi musuh maka tidak ada perlindungan dari muslim terhadap tempat-tempatv ibadah itu, yang menyebabkannya hancur”.

Bahkan tafsir yang rasional sekalipun, Mafatih al-Ghaib karya al-Râzi, menyatakan, boleh saja gereja dan tempat ibadah non muslim dibangun dengan syarat tidak lebih tinggi, tidak lebih indah dan tidak lebih bagus daripada tempat peribadatan muslim. Sebagian besar tafsir menafsiri ayat itu dengan pandangan demikian”

Lebih jauh Mursyid menjelaskan: “Yang tepat sesungguhnya melandaskan pada QS. Al-An’âm ayat 108 yang berbunyi “Wa lâ tasubbû al-ladzîna yad’ûna min dûnillahi fa yasubbûllaha ‘adwan bighairi ‘ilm” artinya: “Janganlah kalian mencaci maki mereka yang beribadah kepada selain Allah, karena niscaya mereka akan mencaci maki Allah dengan cara permusuhan dan tanpa ilmu”.

Pada ayat ini, sebagian tafsir, baik dari yang kanan, seperti al-Amaraghi, maupun yang tengah-tengah, seperti tafsir al-Thabari, tafsir al-Kazin dan lainnya, sampai tafsir yang rasional pun seperti tafsir Mafatih al-Ghaib, menafsirinya sebagai anjuran untuk tidak memaki penganut agama lain, karena khawatir timbul reaksi balik dari yang mereka yang dicaci.

Tafsir al-Maraghi (tafsir ekstrem), dalam menafsirkan ayat di atas dengan tegas menyatakan bahwa “fi al-basyar allâ yatafaqû ‘ala dinin likhtilâf isti’dâdihim wa tafâwutihim fî darajâtil fahmi wal fikri, anna wadhifatur rasûlu an yakuna muballighîn lâ musthîrîn, wa hadîn lâ jabbarîn...fa innallaha huwa al-ladzîna manahahun hadzihil hurriyah wa lam yujbiruhum ‘ala al-imân, nahâ ‘an al-mu’minîn hunâ ‘an subbi aliha al-musyrikîn”

Artinya, "Manusia tidak akan bersepakat dalam soal agama karena perbedaan pandangan, pkirian mereka. Tugas seorangg Rasul hanya menyampiakan bukan memaksakan, hanya menjadi petunjuk bukan pemaksa. Maka Allah swt yang telag memberi kebebasan dan tidak memaksa mereka – dengan ayat di atas – mencegah orang-orang beriman agar tidak mencaci Tuhan agama lain”.

Sementara itu al-Qurthubi menyatakan dalam tafsirnya Jami al-Ahkam: “Lâ yahillu li muslim an yasubba sulbânahum, wa lâ dînahum wa lâ kanâisahum” artinya "Tidak dibolehkan (diharamkan) bagi umat Islam, mencaci Salib-Salib orang non muslim, tidak pula diperbolehkan menghina agama mereka dan tidak pula diperbolehkan mencaci gereja-gereja mereka”. Di sini jelas sekali, kalau mencaci saja tidak boleh, artinya mengganggu atau menghalangi juga tidak boleh”

“Atas dasar itu semua, maka sesungguhnya membiarkan pendiiriann gereja yang sudah dapat izin pemerintah itu adalah halal,” kata Ali Mursyid.

Pandangan ini disepakati oleh Faiq. Faiq dalam hal ini mengemukakan ta’bir dari kitab fiqh Nihayatul Muhtaj Syarah Minhaj dan kitab Fiqh Abu Zahroh Pun demikian.

Pandangan Ali dan Faiq tersebut ditentang oleh dua peserta vokal lainnya. Kang Sa’dun menyangkal dengan menyatakan bahwa kalau al-Quthubi mengharamkan mencaci dan mengganggu Tuhan dan tempat peribadatan agama lain, artinya mendukung pendirian gereja yang sudah dapat izin pemerintah hukumnya wajib, dan bukan hanya halal mutlak. Sementara itu ust. Hudhori menyangkal Ali Mursyid dan Faiq dengan alasan bahwa yang dikemukakan itu hanya tafsir, bahkan mungkin tafsir atas tafsir, belum bisa dijadikan pegangan keputusan hukum fiqh.

Menjawab itu, Ali Mursyid kemudian mengemukakan ta’bir dari Kitab Majmû’ syarah kitab Muhadzab, yang ditulis oleh al-Syirazi yang menyatakan: “Hakadzâ, yadfa’u ‘an mawâdhi’muta’abadatihim bi al-muslimîn wa in kâna yabghaduhâ, wa huwa –subhanahû- yadfa’u ‘an mutaba’adâtihim al-latî aqqarû ‘alaihâ syar’an wa qadran, fa huwa yuhibbu al-daf’a ‘anhâ wa in  kâna yabghadhuhâ – kamâ yuhibbu al-daf’a ‘an arbâbihâ, wa in kâna yabghadhahum”.

Artinya, "Jadi Allah tetap mempertahankan peribadatan orang-orang non-Muslim dengan memerintahkan kaum muslimin untuk mempertankannya, meski Allah tidak menyukai tempat-tempat peribadatan non-muslim tersebut"

Inilah jawaban fiqh dan bukan hanya tafsir. Dan untuk Kang Sa’dun, soalnya adalah dalam kitab kuning tidak ada pandangan yang sharih (jelas dan tegas) mewajibkan umat Islam untuk mempertahankan tempat ibadah non-muslim, maksimal hanya dikatakan “disukai” saja.”****

 

Halaman:

Editor: Ahmad Fauzi

Sumber: NU Online

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

5 Doa Pilihan yang Cocok Dibaca Selama Ramadhan

Sabtu, 6 April 2024 | 06:00 WIB
X