Kita Butuh Jurnalisme Empati, Tidak Melulu Kepentingan Pasar Prioritaskan Maslahat

- Rabu, 9 Februari 2022 | 19:45 WIB
Pengunjuk ­rasa tersungkur terkena semprotan water canon di depan Gedung DPRD Jabar, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Rabu 7 Oktober 2020. Aksi mahasiswa dan elemen masyarakat yang menolak pengesahan UU Cipta Kerja kala itu ber­akhir ricuh. (Pikiran Rakyat/Armin Abdul Jabbar)
Pengunjuk ­rasa tersungkur terkena semprotan water canon di depan Gedung DPRD Jabar, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Rabu 7 Oktober 2020. Aksi mahasiswa dan elemen masyarakat yang menolak pengesahan UU Cipta Kerja kala itu ber­akhir ricuh. (Pikiran Rakyat/Armin Abdul Jabbar)

Bogor Times- Boleh jadi, tidak ada jurnalis lain da­lam sejarah Amerika yang bisa mengungguli Seymour Hersh, dalam hal intensitas membongkar pe­lang­garan pemerintah atau memicu kontroversi dengan mengungkap rahasia peme­rintah.

Itulah sepenggal kalimat yang membuka tulisan Alex Sobur, Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fikom Unisba dan Anggota Dewan Pakar Aspikom Jabar.

Tulisan itu dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat Edisi Rabu 9 Februari 2022. Berikut ini lanjutannya. Kepada pembaca yang bijak lagi bestari, selamat membaca. 

Baca Juga: Tangapi Penyataan KSAD Dudung Abdurachmah, Gus Yaqut : Tidak Ada Larangan Bedoa Pakai Bahasa Indonesia

Aksi pertama Hersh terjadi pada 1969. jurnalis investigasi penerima penghargaan Pulitzer untuk reportase internasional itu mengungkap rahasia kelam yang ditutup rapat-rapat oleh pemerintah Amerika. Rahasia kelam itu dianggap sebagai aib paling memalukan dalam sejarah Amerika Serikat.

Saat itu, Hersh menemu­kan militer Amerika menutupi tuduhan pembantaian terhadap sekira 500 warga si­pil Desa My Lai, di kawa­san Son Tinj, Vietnam Selatan.

 Menurut pengakuan Hersh, sebagaimana disitir Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam karya mereka, Blur: How to Know What’s True in the Age of Information Overload (2010), ketika ia pertama bertugas, prinsip jurnalisme yang selalu ia pegang teguh, ”Jangan menulis sesuatu yang tak kau ketahui betul.”

Baca Juga: Mayat Tanpa Identitas Gegerkan Warga Kradenan, Cibinong

Oleh karena itu, dalam menjalankan profesinya sebagai jurnalis, Hersh kerap mengedepankan detail, se­sua­tu yang baginya setara dengan kehormatan, dan mengubahnya menjadi me­to­de yang melibatkan rantai liputan sistematis.

Ia mengingatkan kepada para jurnalis muda, ”Pelajari semua yang bisa Anda peroleh dari orang-orang di ba­wah atau di sekitar cerita. Lalu kembali, dan periksa apa yang telah Anda dapat sebelum melanjutkan. ­Kem-balilah pada sumber le­bih awal guna memeriksa apa yang mereka katakan terhadap apa yang telah ­Anda pelajari dari wawanca­ra serta dokumen selanjutnya.” 

Seorang editor dari sebuah koran lokal di Amerika Se­rikat menulis, ”Kami, warta­wan adalah orang biasa, karena itu kami wartawan, juga kerdil, juga diinggapi berbagai kelemahan anak manusia. Tetapi, sekali pun kita, wartawan, sendiri dan sebagai pribadi kerdil, sebagai lembaga surat kabar, kita haruslah mulia, noble of heart dan noble of mind, luhur budi dan hatinya.”

Baca Juga: Tim Samber Pungli Polda Jawa Barat Panggil TKSK Parung

Kata-kata yang dikutip Jakob Oetama sebagai sam­butan untuk buku Threes Nio; Laporan dari Lapang­an (1995) itu seolah hendak menegaskan, wartawan ma­sing-masing bisa kerdil, te­tapi janganlah kelemahan itu dibawa ke surat kabar sebagai lembaga.

Sebagai lembaga, surat ka­bar hanya memperoleh ke­percayaan dan wibawa. Ka­rena itu bisa berperanan, ji­ka surat kabar itu noble, nob­le of heart, noble of mind, luhur budi dan hati­nya.

Kepekaan

Halaman:

Editor: Usman Azis

Sumber: Pikiran Rakyat

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

5 Doa Pilihan yang Cocok Dibaca Selama Ramadhan

Sabtu, 6 April 2024 | 06:00 WIB
X