Kita Butuh Jurnalisme Empati, Tidak Melulu Kepentingan Pasar Prioritaskan Maslahat

- Rabu, 9 Februari 2022 | 19:45 WIB
Pengunjuk ­rasa tersungkur terkena semprotan water canon di depan Gedung DPRD Jabar, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Rabu 7 Oktober 2020. Aksi mahasiswa dan elemen masyarakat yang menolak pengesahan UU Cipta Kerja kala itu ber­akhir ricuh. (Pikiran Rakyat/Armin Abdul Jabbar)
Pengunjuk ­rasa tersungkur terkena semprotan water canon di depan Gedung DPRD Jabar, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Rabu 7 Oktober 2020. Aksi mahasiswa dan elemen masyarakat yang menolak pengesahan UU Cipta Kerja kala itu ber­akhir ricuh. (Pikiran Rakyat/Armin Abdul Jabbar)

Jakob Oetama dalam berbagai kesempatan selalu menyebut perlunya jurnalis memiliki kepekaan. Katanya lagi, ”…yang seharusnya di­miliki oleh seorang jurnalis adalah kepekaan terhadap masalah kemanusiaan, hati yang hangat, solidaritas, ke­ibaan (belas kasih, com­pas­sion), kerisauan, rasa ingin tahu, dan pengabdian.” 

Baca Juga: Tim Samber Pungli Polda Jawa Barat Panggil Terduga Pelaku Maling Uang Rakyat, Kasi Kestra Parung Tidak Hadir

Kepekaan macam itu tampaknya kian dituntut pada saat masyarakat dan bangsa kita tengah dirundung ber­bagai derita bencana, juga merebaknya kembali pandemi Covid-19.

Jurnalisme yang perlu di­kembangkan pada saat ini adalah jurnalisme yang ber­empati pada penderitaan orang, baik yang berasal dari struktur sosial maupun yang bersifat individual.

Dalam The Elements of Journalism (2001), Tom Rosenstiel dan Bill Kovach mengingatkan kita, jurnalis­me adalah panggilan kemasyarakatan yang mulia, dan mereka yang mempraktikkannya punya kewajiban yang lebih mendalam kepada pembaca dan pemirsa me­reka dibandingkan permintaan pasar.

Baca Juga: Tidak Terima Difitnah dan Dianiyaya, Pengurus PC IPNU Korban Penganiayaan Lapor Polisi

Dalam perspektif komunikasi, seorang jurnalis pada dasarnya adalah makhluk dua wajah. Di satu sisi dia adalah seorang profesional yang dengan intelektualitasnya memiliki otonomi dan orientasi yang bersifat autentik.

Di sisi lainnya, dia juga bagian atau lebih tepat disebut sebagai pekerja da­lam organisasi yang digerak­kan oleh manajemen dunia bisnis.

Ketika seorang jurnalis mengatakan ”saya seorang profesional”, berarti dia mam­pu mengontrol emosi dan bias pada saat me­la­kukan tugasnya. Ia mencari bahan siaran berita, lalu melaporkannya seadil dan seobjektif mungkin.

Baca Juga: Ridwan Kamil Angkat Bicara Terkait Deklarasi Penggabungan Tiga Provinsi Menjadi Provinsi Sunda

Istilah profesional menunjukkan, seseorang dapat ber­peran dalam kondisi penuh tekanan. Adalah elan atau ga­ya di bawah tekanan yang menetapkan ciri pertim­bang­annya.

Intelektual

Karena jurnalis seorang pro­fesional, konse­kuensinya perlu menghadirkan diri de­ngan kesadaran intelektual. Inilah yang menandai kerja jurnalisme sebagai suatu pro­fesi, bukan sekadar pertukangan. Intelektualisme pro­fesi jurnalisme dicermin­kan dari si­kap independen.

Baca Juga: PB GSN Menegaskan Belum Ada Kader Partai Yang Layak Menjadi Capres 2024.

Sesungguhnya, pada hampir semua pekerjaan ada pa­radoks. Paradoks itu kuat pada profesi jurnalis.

Halaman:

Editor: Usman Azis

Sumber: Pikiran Rakyat

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

5 Doa Pilihan yang Cocok Dibaca Selama Ramadhan

Sabtu, 6 April 2024 | 06:00 WIB
X