Sholat Istiqoroh Orang Bodoh Jadi Abal-abal

- Senin, 22 Agustus 2022 | 03:05 WIB

مَا خَابَ مَنِ اسْتَخَارَ ومَا نَدِمَ مَنِ اسْتَشَارَ Artinya, “Pelaku istikharah tidak mungkin pulang membawa kegagalan, sebagaimana pegiat musyawarah tak akan pernah datang memikul penyesalan.” Kalau memang sedemikian gemilang yang ditawarkan Nabi, mengapa tidak sedikit yang bermuram durja lantaran istikharahnya? Problemnya, tentu bukan pada istikharah itu sendiri, tetapi pada kapabilitas pelaku istikharahnya, apakah ia mampu membaca isyarah langit dengan benar atau tidak. Karena itu, kapabilitas sangat menentukan.

Peran Istikharah Menyingkap Misteri Kehidupan Melalui hadist yang dikutip imam al-Haddad tadi, kita bisa berkesimpulan bahwa orang boleh memilih mana saja antara beristikharah atau bermusyawarah. Bila dikaji lebih dalam, kedua cara ini sebenarnya memiliki titik poros yang sama, yakni mencari jalan keluar yang paling solutif untuk sebuah persoalan.

Artinya, seseorang yang tengah beristikharah berarti sedang bermusyawarah dengan Tuhan. Demikian sebaliknya, orang yang bermusyawarah, sejatinya sedang mencari jalan terbaik (istikharah) bersama orang-orang yang dipercayainya. Hanya saja, objek interaksinya berbeda.

Term istikharah untuk interaksi verikal kita dengan sang pencipta, sedangkan musyawarah untuk interaksi horizontal dengan sesama manusia.

Sebagaimana istikharah yang butuh kapabilitas sang pelaku, maka musyawarah juga demikian, harus bersama yang kapabel. Mengingat, kita dilarang membincang sesuatu bukan bersama ahlinya. Contoh kecil, misalnya di awal Desember mendatang, Bang Karni Ilyas, tuan rumah Indonesia Lawyers Club (ILC) akan membuka forum tentang diskriminasi perempuan dan komunitas LGBT.

Dalam forum tersebut, ia akan menghadirkan narasumber dan tamu undangan dari kalangan petani dan para nelayan.

Sampai di sini, bagaimana menurutmu? Kacau sekali bukan? Lalu, orang gila mana yang tidak ‘mengocok perut’ kala menyaksikan pertunjukan semacam ini?

Rupanya, kapabilitas juga penting dalam musyawarah. Kembali ke awal, antara istikharah dan musyawarah, langkah manakah yang sebaiknya kita ambil? Jawabannya jelas kondisional.

Mereka yang dianugerahi kapabilitas mapan dalam berdialog dengan Tuhan, tak ayal lagi bahwa beristikharah lebih baik.

Walaupun, sebagai bentuk etika dan harmonisasi sosial, penting untuk meminta pendapat satu sama lain. Sang abul basyar Nabi Ibrahim ‘alaihissalam pernah meneladankan kepada kita akan hal ini.

Kendati sudah mendapat isyarah langit untuk menjalankan perintah Allah agar menyembelih buah hatinya, Ismail, ia tetap memohon pandangan putranya terlebih dahulu. Dalam Al- Qur’an surah as-shaffat 102 diabadikan:

قَالَياَا بُنَيَّ إنِّي أَرَى فِي المَنَامِ أنِّي أَذْبَحُكَ فانْظُرْ مَاذَا تَرَى قال يَا أَبَتِ افْعَلْ ما تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إن شاء الله من الصَّابِرِيِّن

Artinya, “Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana menurutmu!,’ Ismail menjawab: ‘Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar’.”

Syekh Muhammad ar-Raisuni dalam Asy-Syuro fi Ma’rakatil Bina’ (hal. 16) mengatakan,

Falmas’alatu mahsusat(un) ma’zumat(un), wa ma’a dzalika yaqulu Ibrahim li waladihi, ‘Fanzhur madza tara’, “Walau Nabi Ibrahim telah bertekad bulat karena mendapat isyarah langit, namun ia tetap mengatakan, ‘Maka, pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’”.

Halaman:

Editor: Rajab Ahirullah

Rekomendasi

Terkini

5 Doa Pilihan yang Cocok Dibaca Selama Ramadhan

Sabtu, 6 April 2024 | 06:00 WIB
X