Bogor Times- Perjuangan yang dilalui Nahdlatul Ulama ( NU ) dalam kancah nasional sebelum orde reformasi bukanlah perkara mudah. Bahkan selama kurun waktu 32 tahun orde baru berkuasa, NU termarjinalkan dari percaturan nasional.
Sebelum orde reformasi NU juga merupakan ormas terbesar Islam yang ikut andil dalam memperjuangkan aspirasi ke Islaman saat itu.
Dalam memperjuangkan aspirasi ke Islamannya di era sebelum orde reformasi, NU tidak punya pilihan lain kecuali dihadapkan pada dua alternatif, bersikap akomodatif, atau konfrontatif.
Baca Juga: Mengenang 11 Tahun Erupsi Merapi di Rumah Mbah Maridjan
Yang perlu dipahami bahwa mengawali berdirinya NU, telah lahir cikal-bakal jam’iyah ini dalam bentuk Nahdlatul Wathan yang bergerak mengobarkan semangat kebangsaan.
Dalam sejarah tercatat, Nahdlatul Wathan ini mendapatkan badan hukum pada tahun 1916. Pada tahun 1918 Tashwirul Afkar yang merupakan wadah candra dimuka dalam bidang pemikiran. Harus diakui masa-masa itu termasuk krusial bagi kalangan tradisional Islam dengan lahirnya gerakan pembaharuan di Mesir dan di Hijaz. Pada tahun yang sama, K.H Wahab Chasbullah atas idzin K.H. Hasyim Asy’ari mendeklarasikan berdirinya Nahdlatut Tujjar yang melirik penguatan ekonomi bangsa Indonesia.
Jadi, berdirinya NU harus dilihat dari berdirinya tiga organ yang memang fokus pada masalah-masalah kebangsaan, pemikiraan, dan kesejahteraan. Namun harus diakui bahwa pengaruh gerakan modernisme di Mesir dan gerakan Wahabi di Hijaz. Inipula yang menyebabkan ketegangan antara kaum tradisionalis dan modernis tidak terhindarkan. Upaya meredam ketegangan dilakukan dengan digelarnya Kongres Umat Islam di Cirebon tahun 1922, namun tidak efektif, hingga lahrilah Komite Hijaz.
Baca Juga: Said Didu Cium Bisnis Covid-19 di Aturan Baru PCR
NU dan Masyumi
Tidak berlebihan jika dikatakan, NU organisasi sosial keagamaan pada dekade 20-an, yang mengukuhkan dirinya sebagai jam’iyyah diniyyah, organisasi keagamaan dengan tujuan mengembangkan Islam berlandaskan ajaran keempat mazhab fiqih (Hanafi, Maliki, Syafi’ie dan Hambali), Asy’ari wal Maturidi dalam akidah, Al-Ghazali, Junaid al-Baghdadi dan lain-lain dalam tasawuf.
Secara faktual, dalam sistem demokrasi saluran aspirasi harus dilakukan lewat media partai politik. Oleh karena itu, keinginan menjadi partai politik pertama kali muncul pada Muktamar Menes 1938 ketika membahas perlunya NU menempatkan wakil dalam Dewan Rakyat (Volksraad). Usul itu ditolak dalam sidang dengan perbandingan suara, 39 menolak, 11 mendukung dan 3 abstain.
Artikel Terkait
Sigmund Freud Pakar Psikoanalisis yang di Kritik Muridnya Sendiri, Erich Fromm
Vidio Dosen UIN Hina Organisasi Nahdlotul Ulama, Warga Net Geram
Peter Ghonta di Paksa Tanda Tangan Kontrak 1×24 Jam Pembelian Garuda, Mengerikan Kebobrokannya.
Keindahan Agro Wisata Pemandian Air Panas Guci Tegal Simpan Legenda dan Mitos di Masyarakat Sekitar
Soal Pungutan Liar, Kades Citeureup Akui Punya Dasar Hukum