Berbeda-beda dalam Penetapan Awal Ramadhan, Simak Alasannya

- Jumat, 8 Maret 2024 | 07:13 WIB
Kitab Kuning (Azis/Bogor Times)
Kitab Kuning (Azis/Bogor Times)

Menurut mereka, arti kata tersebut adalah perkirakanlah dengan menggunakan hitungan (hisab). Dari kedua pendapat di atas, tampaknya pendapat kelompok pertama yang menyatakan bahwa awal Ramadhan hanya bisa ditetapkan dengan rukyat dan istikmal merupakan pendapat yang sangat kuat, karena dalil-dalil yang mereka kemukakan sangat jelas dan tegas menyatakan hal tersebut. (Lihat: Mahmud Ahmad Abu Samrah dkk., Al-Ahillah Baina al-Falaq wa al-Fiqh, Jurnal al-Jami’ah al-Islamiyyah, Volume 12, Nomor 2, Halaman 241).

Akan tetapi, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama dalam bidang ilmu astronomi, peran hisab sangatlah urgen dalam mendukung hasil rukyat. Apalagi, hisab yang didukung dengan alat modern memiliki akurasi yang sangat tinggi. Dalam konteks negara Indonesia, terdapat beberapa kriteria penetapan awal Ramadhan, di antaranya: Pertama, imkanur rukyat (visibilitas hilal). Imkanur Rukyat adalah mempertimbangkan kemungkinan terlihatnya hilal.

Kriteria ini mengharuskan hilal berada minimal 2 derajat di atas ufuk, sehingga memungkinkan untuk dilihat. Akan tetapi, adanya hilal belum teranggap sampai hilal tersebut dapat dilihat dengan mata. Kriteria ini digunakan oleh NU sebagai pendukung proses pelaksanaan rukyat yang berkualitas. Kedua, wujudul hilal. Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan Ramadhan dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (Konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam, dan bulan terbenam setelah matahari terbenam.

Jika kedua kriteria tersebut terpenuhi maka pada petang hari tersebut dapat dinyatakan sebagai awal bulan. Kriteria ini digunakan oleh Muhammadiyah. Ketiga, imkanur rukyat MABIMS. Yaitu penentuan awal bulan Ramadhan yang ditetapkan berdasarkan musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS). Menurut kriteria ini, awal bulan Hijriyah terjadi jika saat matahari terbenam, ketinggian Bulan di atas horison tidak kurang dari 2 derajat dan jarak lengkung Bulan-Matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3 derajat, dan ketika terbenam, usia bulan tidak kurang dari 8 jam setelah ijtimak/konjungsi. Keempat, rukyat global. Yaitu Kriteria penentuan awal bulan Ramadhan yang menganut prinsip bahwa jika satu penduduk negeri melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa.

Kriteria ini digunakan sebagian muslim Indonesia dengan merujuk langsung pada Negara Arab Saudi atau menggunakan hasil terlihatnya hilal dari Negara lain. Dengan adanya metode dan kriteria penetapan awal Ramadhan yang sangat variatif, tidak mengherankan jika terjadi perbedaan dalam memulai puasa Ramadhan. Hanya saja, penting kiranya untuk berusaha menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut, mengingat bahwa amaliah di bulan Ramadhan dan lebaran di bulan Syawal merupakan syi’ar Islam dan momen kebahagiaan yang layaknya dilaksanakan dan dinikmati bersama-sama. Pemerintah melalui Kementerian Agama memiliki peran sentral dalam menyatukan perbedaan dimaksud, yaitu dengan menyelenggarakan sidang Itsbat awal Ramadhan yang didasarkan pada rukyat, dan hisab sebagai pendukung. Keputusan Itsbat bersifat mengikat dan berlaku bagi umat Islam secara nasional, sebagaimana kaidah fiqih:

حُكْمُ الحَاكِمِ يَرْفَعُ الخِلَافَ “

Keputusan Hakim (Pemerintah) dapat menghilangkan perselisihan.” Hanya saja, jika perbedaan penetapan awal Ramadhan masih saja terjadi maka prinsip toleransi sepatutnya tetap dikedepankan. Sebab, menjaga persatuan dan kerukunan umat merupakan perintah Allah yang wajib dilaksanakan****

Wallahu A’lam.

 

Sumber: https://www.nu.or.id/ramadhan/beda-pendapat-ulama-soal-penetapan-awal-ramadhan-3zglA


___
Download NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap! https://nu.or.id/superapp (Android/iOS)

Halaman:

Editor: Usman Azis

Rekomendasi

Terkini

5 Doa Pilihan yang Cocok Dibaca Selama Ramadhan

Sabtu, 6 April 2024 | 06:00 WIB
X