Sejarah NU dan Mentrian Agama

- Sabtu, 8 Juli 2023 | 23:04 WIB
Halaqah Sejarah (Dok.Bogor Times/Arul)
Halaqah Sejarah (Dok.Bogor Times/Arul)

Dalam konteks inilah bisa dipahami ungkapan bahwa kementrian agama adalah ‘hadiah untuk NU’. Sebelumnya pada 18 Maret 1944, Hadratus Syaikh bersua Gunseikan, Letjend Moichiro Yamamoto untuk menerima pengangkatannya sebagai Komon (Penasehat) Djawa Hooko Kai. Pertemuan langsung dengan Komandan Angkatan Darat Pemerintahan Bala Tentara Jepang di Jawa ini, menunjukkan pengakuan pada posisi beliau dan sebagai permintaan maaf atas penahanannya di penjara Surabaya dan Mojokerto sebelumnya. Djawa Hooko Kai ini oleh Kiai Wahab Chasbullah diplesetkan menjadi ‘Djawa Haqqu Kiai”, Jawa dalah haknya para kiai.

Baca Juga: Biografi Singkat Kelahiran Nabi Muhammad SAW hingga Awal Hijrah ke Madinah

Keterlibatan para kiai NU dalam jawatan agama, merupakan fakta sejarah. Setelah berganti menjadi departemen agama pasca kemerdekaan RI, kalangan pesantren ikut berbenah. Pesantren Cipasung misalnya, sejak 1949 sudah mulai membuka Sekolah Pendidikan Islam yang kemudian berganti menjadi SMP Islam Cipasung. Pembukaan sekolah formal ini terus berlangsung hingga pendirian IAIC pada 1965, tiga tahun lebih awal dari pendirian IAIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Pembukaan sekolah formal ini diakui langsung oleh Ajengan Ruhiat sebagai upaya mengisi jabatan di Departemen Agama (Depag). Sebab menurutnya, berbahaya jika pegawai dan pejabat Depag yang mengelola urusan agama umat, tidak paham agama.

Masa pendudukan Jepang berhasil dimanfaatkan oleh elit NU untuk bergerak ke tengah, ikut terlibat langsung ‘mengurus’ negara. Sementara pada masa penjajahan Hindia Belanda, NU bersikap non-kooperatif dan tidak pernah menerima subsidi dari pemerintah.

Baca Juga: Sederet Peristiwa Penting Iringi Kelahiran Nabi Muhammad SAW yang Jarang Diketahui Orang

Kembali ke malam eksekusi di Ancol. Diam-diam, seorang penjaga malam di Klenteng Ancol menyaksikan peristiwa eksekusi itu. Mpek Gagu namanya. Dua tahun kemudian, pendekar yang piawai memainkan toya itu melaporkan adanya lokasi eksekusi itu kepada otoritas Belanda yang kembali ingin menjajah Indonesia dengan membonceng NICA. Lokasi eksekusi itu kemudian ‘disulap’ menjadi Taman Makam (Ereveld) Ancol yang tetap dipertahankan hingga sekarang. Pohon besar yang jadi lokasi eksekusi ditebang dan di atasnya dibangun monumen Ereveld. Pada 25 Agustus 1973, atas permintaan keluarga, makam 18 syuhada itu dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Sukamanah.

Hari ini, 25 Oktober 2021, kita mengenang kembali pengorbanan KH Zainal Musthafa Asy-Syahid bersama para kiai dan santrinya 77 tahun yang lalu. Perlawanan mereka telah ikut menentukan sejarah negeri ini, termasuk Kementrian Agama.

Untuk para syuhada Sukamanah, Alfatihah.

Penulis adalah peneliti dan penulis buku Ajengan Sukamanah Biografi KH Zainal Musthafa Asy-Syahid.***

Halaman:

Editor: Usman Azis

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

5 Doa Pilihan yang Cocok Dibaca Selama Ramadhan

Sabtu, 6 April 2024 | 06:00 WIB
X