Hikmah dibalik Hijrah

- Kamis, 13 Juli 2023 | 09:00 WIB
Kopi dan ulasan kitab Iinaasush Shofwah bi Anfaasil Qohwah (Pixabay)
Kopi dan ulasan kitab Iinaasush Shofwah bi Anfaasil Qohwah (Pixabay)

Bogor Times-Peristiwa hijrah merupakan kejadian penting yang di dalamnya tersimpan banyak hikmah yang bisa kita renungkan. Setidaknya, ada 3 nilai penting dari peristiwa hijrahnya Nabi dari Mekkah ke Madinah yang perlu kita teladani.


Pertama, transformasi atau perbaikan keummatan (kemanusiaan). Mengingat, misi utama hijrahnya Nabi beserta kaum muslim sesungguhnya untuk menyelamatkan nilai-nilai kemanusiaan. Karena betapa sebelum hijrah, penindasan dan kekejaman sangat lazim dilakukan oleh orang-orang kaya dan para penguasa terhadap masyarakat kecil yang lemah. Oleh karenanya, hijrah dalam hal ini ditujukan untuk mewujudkan suatu tatanan sosial (kemasyarakatan) yang lebih baik.


Hijrah dalam pengertian menyelamatkan ummat dari ketertindasan adalah sebuah kewajiban. Bahkan al-Qur’an menyatakan, bahwa jika ummat dalam kondisi tertindas dan ia sebenarnya mampu untuk hijrah tetapi tidak melakuan, maka ia dianggap sebagai orang yang menganiaya dirinya sendiri (zhalim). Sebab, luasnya bumi Allah dan melimpahnya rizqi di atasnya, pada dasarnya disediakan oleh Allah untuk keperluan manusia. Karena itulah, jika manusia atau masyarakat mengalami ketertindasan, Allah mewajibkan mereka untuk hijrah. Sebagaimana firman Allah dalam QS. an-Nisa (4): 97-100:


إنّ الذين توفّاهُمُ الْمَلآئكةُ ظالِمِي أنفسهِمِ قَالُوا فِيْمَ كنتم, قالوا كُنَّا مستضعفين في الأرض, قالوا أَلَمْ تَكُنْ أرضُ اللهِ واسِعَةٌ فتهاجروا فيها...


“Sesungguhnya orang-orang yang dimatikan oleh para malaikat dalam keadaan menganiaya diri mereka sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: ‘bagaimanakah kondisi kalian ini?’, mereka menjawab: ‘kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri kami (Makkah)’, para malaikat lalu berkata: ‘bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kalian dapat berhijrah di bumi itu?’”.


إلاّ المستضعفين من الرّجالِ والنّساءِ والولدانِ لاَ يستطيعون حِيْلَةً ولا يَهْتَدُوْنَ سَبِيْلاً


“Kecuali mereka yang tertindas itu (baik laki-laki, perempuan, atau pun anak-anak) benar-benar tidak memiliki kemampuan dan tidak mengetahui jalan untuk hijrah”.


فأولئك عسى اللهُ أنْ يَعْفُوَ عنهم وكان الله عَفُوًّا غَفُوْرًا


“Maka terhadap mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkan. Dan Allah adalah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”.


ومن يُهَاجِرْ في سبيل الله يَجِدْ في الأرض مُرَاغَمًا كَثِيْرًا وَسَعَةً, ومَنْ يَخْرُجْ مِن بيته مهاجرا إلى الله ورسوله ثمّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ على الله وكان الله غفورا رحيما


“Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapati di muka bumi ini tempat yang luas dan rezeki yang berlimpah. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu kematian menimpanya (sebelum ia sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah Allah tetapkan pahala hijrah itu di sisi-Nya, dan Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.


Hadirin jama’ah Jum’at yang berbahagia,


Kemudian nilai yang Kedua, adalah transformasi atau perbaikan kebudayaan dan peradaban. Hijrah dalam hal ini dimaksudkan untuk mengentaskan masyarakat dari kebudayaan atau tabiat jahiliyah menuju kebudayaan dan peradaban yang Islami. Yaitu tatanan peradaban yang tidak memperbudak dan menjerumuskan manusia, tetapi membebaskan manusia dengan pancaran cahaya ilahi. Dengan demikian, hijrah pada dasarnya ditujukan untuk mengembalikan moral dan martabat kemanusiaan secara universal, sebagai makhluk yang paling mulia di muka bumi.


Lalu yang Ketiga, adalah transformasi atau pengembangan dakwah keagamaan. Transformasi inilah yang sesungguhnya yang menjadi pilar utama keberhasilan dakwah Rasulullah. Persahabatan beliau dan kaum Muslim dengan kalangan non-Muslim (Ahli Kitab: Yahudi dan Nasrani) yang ada di Madinah, sesungguhnya adalah basis utama dari misi kerasulan yang diemban oleh Rasulullah. Dari catatan sejarah kita dapat ketahui, bahwa orang yang pertama kali menunjukkan sekaligus mengakui ‘tanda-tanda kerasulan’ pada diri Nabi, adalah seorang pendeta Nasrani yang bertemu tatkala Nabi dan pamannya, Abu Thalib, berdagang ke Syria.


Kemudian, pada hijrah pertama dan kedua (ke Abesinia), pun kaum Muslim sempat ditolong oleh raja Najasy yang juga beragama Nasrani. Dan pada saat membangun kepemimpinan di Madinah, kaum Muslim bersama kaum Yahudi dan Nasrani, saling bahu-membahu dalam ikatan persaudaraan dan perjanjian yang damai. Fakta ini menunjukkan, betapa ajaran Islam adalah ajaran yang rahmatan lil ‘alamin, yang mengajarkan kedamaian kepada seluruh alam.****

Halaman:

Editor: Usman Azis

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Hikmah Zakat Dalam Islam

Sabtu, 6 April 2024 | 06:00 WIB

Berikut Niat Zakat Fitrah Untuk Berbagai Keadaan

Jumat, 5 April 2024 | 06:00 WIB

Definisi Zakat dalam Islam

Kamis, 4 April 2024 | 06:00 WIB

Sejarah Syariat Zakat dalam Islam

Kamis, 4 April 2024 | 06:00 WIB

Inilah Beberapa Keutamaan Hari Raya Idul Fitri

Kamis, 4 April 2024 | 06:00 WIB

Inilah Makna dan Esensi Idul Fitri Menurut Ulama

Kamis, 4 April 2024 | 02:20 WIB

Jatuh dan Terluka, Apakah Puasa Menjadi Batal?

Rabu, 27 Maret 2024 | 12:55 WIB
X