Salah satu tantangannya adalah bahwa siapa pun yang akan menjadi Presiden pada 2024 nanti akan terbebani oleh ekspektasi masyarakat yang tinggi.
"Siapa pun yang nanti akan menjadi Presiden pengganti Jokowi, dia akan dibebani oleh beban ekspektasi secara emosional yang tinggi. Siapa pun yang jadi Presiden, setahun pertama pasti kepuasan publiknya akan anjlok karena akan dibanding-bandingkan sama 'mantan'. Itu kan masalah perasaan," katanya.
Baca Juga: Penunjukan Cak Imin sebagai Cawapres Anies: Penjelasan Surya Paloh dan Reaksi Partai Demokrat
Namun peluang atau kabar baiknya ketika Pemilu dimulai dengan kepuasan publik cukup tinggi itu adalah tidak akan terjadi konflik yang terasa sangat panas.
"Kabar baiknya, kalau kita memasuki tahun pemilu dengan kepuasan publik cukup baik, artinya tanpa ada masalah; atau problem yang pelik di dalam negeri, kecenderungan konflik harusnya jauh lebih kecil," katanya.
"Kalau terasa panas pun itu hanya di jempol (media sosial). Tapi potensi konflik di level darat, dengan psikologi seperti sekarang, semoga enggak," imbuh Toto.
Baca Juga: Anggota DPRD Minahasa Tidak Masuk Kantor Selama Enam Bulan: Keanehan dan Kode Etik yang Terlanggar
Komunikator Politik dan Praktik Kampanye
Sementara itu, Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Idham Holik menjelaskan bahwa komunikator politik bukan hanya para politisi, tokoh partai, atau para kandidat saja. Para pemilih juga bisa disebut sebagai komunikator politik.
Dalam konteks Pemilu, kata Idham, komunikasi politik yang dilakukan oleh para komunikator itu dimaknai sebagai praktik kampanye.
"Praktik kampanye menurut UU Pemilu itu adalah kampanye yang edukatif. Karena kampanye adalah sarana pendidikan pemilih. Itu menurut UU Pemilu," kata Idham.
Bahkan tak hanya sebatas edukatif, tetapi kampanye juga harus rasional. Sebab UU Pemilu dimaktubkan bahwa kampanye adalah sarana meyakinkan pemilih dengan cara menawarkan visi-misi, program, dan citra diri.
"Praktik kampanye harus dibingkai dalam konteks komunikasi politik yang rasional. Tidak hanya kontestan kepada para pemilih, tapi pemilih juga harus rasional menghadapi pesan-pesan komunikasi politik, persuasi, propaganda politik yang dimainkan para politisi atau kontestan," jelas Idham, Doktor Komunikasi Politik jebolan Universitas Indonesia itu.***
Artikel Terkait
Penunjukan Cak Imin sebagai Cawapres Anies: Penjelasan Surya Paloh dan Reaksi Partai Demokrat
Anggota DPRD Minahasa Tidak Masuk Kantor Selama Enam Bulan: Keanehan dan Kode Etik yang Terlanggar
Bazar Sembako Murah Serasi: Upaya Menekan Inflasi di Kota Bogor
Festival Inovasi Kota Bogor: Membangkitkan Semangat Inovator Lokal
Komisi VIII DPR RI Lakukan Kunjungan Kerja ke Kota Bogor untuk Monitoring Penyaluran Bantuan
Polda sumut Gelar Rapat Koordinasi Kesiapan Pemilu 2024
Polda Sumut Gerebek Gudang Penyalahgunaan Solar Bersubsidi, 21 Ton Solar Disita
Usai Selesai Jadi Presiden, Jokowi Pakai Yusril Untuk Tameng Hukum, Simak Tanggapan Yusril
Kasus Obat Batuk Sirup Gagal Ginjal, Kuasa Hukum: Jaksa Lemah Pembuktian
Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama Segera Digelar