1.700 Triliun untuk Sektor Pertahanan. Beban atau Kebutuhan?

- Jumat, 4 Juni 2021 | 00:59 WIB
IMG_1622742867543
IMG_1622742867543




Dalam skema MEF, pada periode 2009-2014, pemerintah Indonesia telah merancang Rp150 triliun untuk pembelanjaan alutsista. Pada periode 2014-2019, pemerintah juga kembali menganggarkan Rp150 triliun untuk program MEF. Maka seharusnya, untuk periode 2019-2024, pemerintah juga menganggarkan Rp150 triliun untuk melanjutkan program MEF tersebut.





Kementerian Pertahanan tidak perlu membuat jalan baru melalui peningkatan anggaran pertahanan sebesar Rp1.700 triliun hingga tahun 2024 dan semestinya tetap menggunakan skema MEF hingga tahun 2024 sebesar Rp150 triliun.






Koalisi menilai, peningkatan anggaran alutsista yang berlebihan serta keluar dari skema MEF ini adalah berlebihan, tidak beralasan, dan sangat kental dimensi politisnya. Patut dicurigai bahwa peningkatan anggaran sektor pertahanan ini tidak terlepas dari kepentingan politik kontestasi pemenangan Pemilu 2024 yang membutuhkan biaya politik.






Kami menilai bahwa problem modernisasi alutsista Indonesia selama ini tidak selalu terkait dengan besarnya  anggaran. Jika mengacu pada skema MEF, Kementerian Pertahanan sebenarnya sudah memiliki skema anggaran sendiri dalam hal modernisasi alutsista. Hal pokok yang paling bermasalah dalam modernisasi alutsista adalah masalah transparansi dan akuntabilitas dalam penganggaran di sektor pertahanan, yang seringkali berdampak pada terjadinya skandal korupsi dalam pengadaan alutsista. 






Dengan demikian, meningkatkan anggaran sektor pertahanan tanpa adanya transparansi dan akuntabilitas sama saja dengan memberikan cek kosong pada elit politik untuk menggunakan anggaran tersebut demi tujuan-tujuan politik maupun kepentingan pribadi yang berujung pada terjadinya korupsi. Sampai saat ini, Kementerian Pertahanan masih mengalami masalah serius terkait dengan transparansi dan akuntabilitas. Kemhan selalu berlindung di balik tameng “rahasia negara” yang sebenarnya hanya menjadi dalih untuk menutup-nutupi potensi penyimpangan yang terjadi. 






Transparansi dan akuntabilitias dalam sektor pertahanan hanya akan terwujud jika pemerintah melakukan proses reformasi peradilan militer melalui revisi UU No. 31 Tahun 1997 yang menegaskan bahwa militer tunduk dalam yurisdiksi peradilan umum jika terlibat dalam tindak pidana umum. Tanpa adanya reformasi peradilan militer, modernisasi alutsista akan selalu dibayang-bayangi oleh dugaan praktik korupsi.





Selain itu, kendati ketentuan tentang pengadaan alutsista telah mensyaratkan untuk tidak melibatkan pihak ketiga (broker), dalam kenyataannya sejumlah pengadaan masih kerap diwarnai praktik ini. Dalam beberapa kasus, keterlibatan mereka kadang kala berimplikasi terhadap dugaan terjadinya mark-up (korupsi) dalam pengadaan alutsista yang merugikan keuangan negara. 






Lebih jauh, Koalisi menilai bahwa masalah lainnya dalam hal modernisasi alutsista adalah tidak adanya skala prioritas oleh Kemhan dalam membuat perencanaan pertahanan serta tidak konsistennya Kemhan dalam melanjutkan maupun mengimplementasikan rencana yang sudah dibuat. Kemhan seharusnya fokus untuk memperkuat komponen utamanya, yakni TNI, dalam membangun kekuatan pertahanan. Namun demikian, yang terjadi justru Kemhan membuat program-program yang tidak relevan dengan komponen utamanya, seperti program cetak sawah, komponen cadangan logistik strategis, dan program-program lainnya yang tidak relevan dengan fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara. 

Halaman:

Editor: Sanusi Wirasuta

Tags

Rekomendasi

Terkini

5 Doa Pilihan yang Cocok Dibaca Selama Ramadhan

Sabtu, 6 April 2024 | 06:00 WIB
X