PENGARUH DAN INTERKULTURALISME BAHASA MELAYU TERHADAP KERAJAAN ACEH

- Minggu, 18 Juni 2023 | 12:10 WIB
Ilustrasi (undefined)
Ilustrasi (undefined)

Seperti yang kita ketahui bersama, abjad khusus Aceh tidak ada, dan aksara masyarakat Aceh ditulis dengan aksara Melayu-Arab, yang oleh masyarakat Aceh disebut "Jawoe". Sebagian besar karya sastra Aceh ditulis dalam bahasa Arab Jawi, umumnya berbentuk puisi, yaitu puisi dalam huruf Arab, dan jarang yang berbentuk prosa, bahkan sangat sedikit. Bentuk puisi yang sangat populer di kalangan orang Melayu adalah hikayat, dan hikayat dianggap oleh masyarakat Aceh sebagai cerita yang terjadi, beberapa di antaranya memiliki nilai sejarah yang cukup besar.

Bahasa Melayu juga dijadikan sebagai bahasa resmi atau bahasa ilmu pengetahuan di Aceh dan mengalami perkembangan yang sangat pesat sehingga pada saat itu bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa tulisan.

Perkembangan bahasa Melayu di Aceh bermula dari bahasa Melayu-Pasai (Jawi-Pasai/Jawoe) ke bahasa Melayu Aceh Darussalam sedangkan pengenalan dengan bahasa dan huruf Arab sejak Islam masuk ke Aceh, yaitu sekitar abad ketujuh Masehi. Ketika kerajaan Samudra Pasai ditaklukkan oleh kerajaan Aceh pada tahun 1524, kerajaan Melayu Pasai berpindah ke Bandar Aceh Darussalam Ibukota kerajaan Aceh, dan semakin memperkuat kedudukan bahasa Jawi dalam kerajaan (Lestari, 2002).

Hal ini dapat dibuktikan dengan berkembangnya karya sastra pada masa kerajaan Aceh Darussalam, dan bahasa Melayu menjadi bahasa resmi kerajaan Aceh Darussalam pada masa itu, sehingga segala peraturan negara seperti undang-undang yang terkenal dengan Adat Bak Potemoreuhom ditulis dalam bahasa Melayu (Hanafiah, 1993).

Tulisan jawi yang banyak digunakan dalam naskah-naskah kuno adalah tulisan Arab yang dalam penggunaanya digunakan untuk menulis bahasa Melayu. Karya sastra Melayu baik hikayat maupun naskah-naskah ditulis dalam bahasa Melayu (Bakar, 1986), bahkan surat-surat raja, dan tulisan-tulisan lain pada masa itu ditulis dalam bahasa Melayu (Kaoy, 1988).


Proses Interkulturalisme Bahasa Melayu

Interkulturalisme berbeda dengan multikulturalisme dalam konteks hubungan antar budaya. Interculturalisme mengacu pada bagaimana budaya yang satu mereaksi budaya yang lain, yaitu bagaimana berbagai budaya yang berbeda dapat dipahami, dinilai, diterima atau ditolak dalam satu perspektif dan tindakan budaya tertentu (penulisan sastra) sehingga dalam proses tersebut secara imajinatif menuju dan menjadi satu bentuk cara kehidupan tetentu yang berbeda dengan kenyataan sesungguhnya, sedangkan multikulturalisme mengarah pada politik budaya untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan baik secara individu maupun kemasyarakatan (Salam, 2010).


Aprinus Salam (2010) menyebutkan ada beberapa sudut pandang tentang interkulturasi dan interkulturalisme, pertama yaitu memandang karya sastra sebagai produk interkultur dari proses interkultur yang dialami pengarang.

yaitu melihat teks sastra sebagai medan tekstual bagaimana secara intrinsik budaya-budaya yang berbeda hutang budi, bertanggung jawab, dinilai dan kemudian dinarasikan yang hal ini terjadi jika dalam karya tersebut terdapat berbagai karakter (tokoh-tokoh) yang berasal dari budaya ataupun setting yang berbeda.

Ketiga yaitu menempatkan karya sebagai satu karya etnografis tertentu sebagai satu tulisan persentuhan antarbudaya, antara pengarang dan budaya tertentu, misal pengarang Batak yang menulis tentang masyarakat Sumbawa. Sedangkan pendekatan terakhir yaitu memandang mekanisme sastra dan interkultur sebagai upaya mengkaji dan menafsirkan karya sastra dalam perspektif budaya penafsir, misalnya bagaimana orang Jawa membaca karya sastra Bugis atau Sunda dan sebagainya.

Dari keempat sudut pandang tersebut, penulis memilih dua sudut pandang, yaitu sudut pandang pertama dan kedua.
Bahasa merupakan salah satu situs penting interkulturasi, termasuk tidak mengeluarkan seseorang dari basis kulturalnya (Salam, 2010). Menurut Aprinus Salam ada tujuh katagori mekanisme interkulturasi yaitu:


1. Nasehat dan ideologisasi.
2. Migrasi, akulturasi, dan asimilasi.
3. Pelatihan dan pendisiplinan.
4. Teknologisasi dan industialisasi.
5. Bertambahnya pengalaman.
6. Konflik dan kekerasan.
7. Persuasi kesenian Munculnya bahasa melayu di Aceh merupakan sebuah proses interkulturalisasi.

Dalam sebuah proses interkulturalisasi akan terjadi sebuah pembentukan, pemamfaatan atau pengubahan kebudayaan baru yang masuk ke dalam masyarakat penerima. Pada usaha pembentukan, pemamfaatan, atau pengubahan kebudayaan baru yang sedemikian rupa sehingga pada akhirnya menjadi milik masyarakat.


Proses interkulturalisasi ini terjadi karena adanya relasi-relasi antar budaya dan dalam interkulturalisme, tiap-tiap budaya tumbuh berkembang sambil dengan sengaja giat bergaul dengan yang lain, tidak sekedar membiarkan involusi dalam diri masing-masing.

Berdasarkan beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya interkulturalisasi bahasa melayu terhadap relasi-relasi antara budaya tersebut diantaranya,
pertama, faktor agama, yaitu penyebaran agama dan kebudayaan Islam. Islam disebarkan dengan menggunakan bahasa melayu, karena untuk mudah memahami bahasa lokal yaitu bahasa Aceh itu sendiri.

Halaman:

Editor: Rajab Ahirullah

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Wajah Baru Calon Bupati, Decan :Saya Siap Maju

Rabu, 20 Maret 2024 | 23:38 WIB

Surya Paloh: Junjung Tinggi Politik Beretika

Rabu, 24 Januari 2024 | 08:55 WIB

Izin Dibatalkan Sepihak, Tim AMIN Gelar Investigasi

Selasa, 23 Januari 2024 | 06:00 WIB

Tinggalkan Podium, Gibran Diduga Lakukan Pelanggaran

Senin, 22 Januari 2024 | 06:10 WIB
X