Standar Pekerjaan yang Menghalangi Penerimaan Zakat Standar pekerjaan yang dapat membuat seseorang tidak boleh menerima zakat atas nama miskin ada tiga: pekerjaan layak, pekerjaan halal, dan pekerjaan yang dapat mecukupi kebutuhan. Artinya, jika seseorang memiliki pekerjaan, namun pekerjaan itu tidak layak, tidak halal, atau tidak mencukupi, maka pekerjaan itu tidak dianggap cukup dan ia masih berhak menerima zakat. Al-Bujairimi dalam Tuhfatul Habib menjelaskan:
قَوْلُهُ (مَنْ لَا مَالَ لَهُ) أَيْ عِنْدَهُ وَلَا كَسْبَ بِأَنْ لَا يَكُوْنَ لَهُ مَالٌ وَلَا كَسْبٌ أَصْلًا أَوْ كَانَ لَهُ كَسْبٌ لَا يَلِيْقُ أَوْ كَانَ لَهُ مَالٌ أَوْ كَسْبٌ يَلِيْقُ لَكِنْ لَا يَقَعَانِ مَوْقِعًا مِنْ كِفَايَتِهِ فَكَلَامُهُ شَامِلٌ لِثَلَاثِ صُوَرٍ
Artinya, “Ungkapan: "(Barangsiapa yang tidak mempunyai harta) dan tidak mempunyai pekerjaan", artinya ia tidak mempunyai harta dan pekerjaan sama sekali, atau ia mempunyai pekerjaan yang tidak pantas, atau ia mempunyai harta atau pekerjaan yang pantas, namun keduanya tidak dapat mencukupi kebutuhannya, maka ungkapan di atas mencakup tiga bentuk.” (Sulaiman Al-Bujairimi, Bujairimi ‘alal Khatib/Tuhfatul Habib, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1996], juz III, halaman 79).
Sedangkan yang dikehendaki dengan pekerjaan yang mencukupi adalah pekerjaan dengan penghasilan yang dapat mencukupi kebutuhan seseorang dan orang-orang dalam tanggungan nafkahnya sampai 'umrul ghalib. Dengan demikian seseorang yang memiliki pekerjaan tidak tetap dengan hasil yang tidak dapat mencukupi kebutuhannya sampai 'umrul ghalib, serta tidak ada pekerjaan lain yang dapat dilakukannya, maka ia masih tergolong orang miskin. Dalam Al-Fatawal Kubra, Ibnu Hajar menjelaskan:
وَمَنْ يَكْتَسِبُ وَقْتَ تَصْفِيَةِ الْحُبُوبِ دُونَ ما بَعْدَهَا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ صَنْعَةٌ أُخْرَى تَكْفِيه يَأْخُذْ مَا يَحْتَاجُهُ لِلْعُمْرِ الْغَالِبِ بِخِلَافِ مَا إذَا كَانَ لَهُ صَنْعَةٌ أُخْرَى تَكْفِيه فَإِنَّهُ لَا يُعْطَى شَيْئًا بِاسْمِ الْفَقْرِ أو الْمَسْكَنَةِ
Artinya, “Barangsiapa yang bekerja pada saat menyaring biji-bijian dan tidak bekerja sesudahnya, serta tidak mempunyai pekerjaan lain yang dapat mencukupinya, maka ia dapat mengambil (dari zakat) apa yang diperlukannya sampai batas usia sebagian besar orang (umrul ghalib), kecuali jika ia mempunyai pekerjaan lain yang dapat mencukupi, maka dia tidak diberi apa pun atas nama fakir miskin.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatawil Fiqhiyah Al-Kubra, [Beirut, Darul Fikr], juz IV, halaman 81).
4 Ketentuan Pekerja yang Tidak Boleh Menerima Zakat Yang dimaksud dengan pekerja dalam pembahasan zakat adalah orang yang punya kemampuan atau potensi untuk bekerja.
Artinya orang yang memiliki keterampilan dan kemampuan untuk bekerja dengan penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Orang semacam ini tidak dapat disebut miskin meskipun tidak bekerja. Orang yang mampu bekerja, meskipun belum memiliki pekerjaan apapun, tidak dapat menerima zakat atas nama fakir miskin dengan ketentuan: ada orang yang mau memperkerjakannya, ia mampu melakukan pekerjaan tersebut, pekerjaannya dianggap layak untuknya, dan pekerjaan itu halal dilakukan.
وَالْكَسُوبُ غَيْرُ فَقِيرٍ وَإِنْ لَمْ يَكْتَسِبْ إنْ وَجَدَ مَنْ يَسْتَعْمِلُهُ وَقَدَرَ عَلَيْهِ وَلَاقَ بِهِ حَلَّ لَهُ تَعَاطِيهِ ا هـ م ر Artinya, “Orang yang mampu bekerja itu bukan orang fakir, meskipun dia tidak bekerja, jika ada orang yang mau mempekerjakannya, dia mampu melakukannya, pekerjaan itu layak baginya, serta layak untuk dilakukan, demikian pernyataan Ar-Ramli.” (Al-Bujairimi, III/80).
Di antara yang menjadi pertimbangan pokok adalah pekerjaan harus layak. Jika orang berasal dari latar belakang keluarga yang tidak bekerja (karena cukup kaya), maka ia tidak layak untuk bekerja. Atau dari keluarga dengan pekerjaan tertentu yang terhormat, maka ia tidak layak untuk melakukan pekerjaan yang dinilai rendah dan tidak terhormat.
وَكَسْبٌ لَا يَلِيقُ بِهِ شَرْعًا أَوْ عُرْفًا لِحُرْمَتِهِ أَوْ إخْلَالِهِ بِمُرُوءَتِهِ لِكَوْنِهِ كَالْعَدَمِ كَمَا لَوْ لَمْ يَجِدْ مَنْ يَسْتَعْمِلُهُ إلَّا مَنْ مَالُهُ حَرَامٌ : أَيْ أَوْ فِيهِ شُبْهَةٌ قَوِيَّةٌ فِيمَا يَظْهَرُ ، وَأَفْتَى الْغَزَالِيُّ بِأَنَّ أَرْبَابَ الْبُيُوتِ الَّذِينَ لَمْ تَجْرِ عَادَتُهُمْ بِالْكَسْبِ : أَيْ وَهُوَ يَخِلُّ بِمُرُوءَتِهِمْ لَهُمْ الْأَخْذُ
Artinya, “(Dan pekerjaan yang tidak layak) baginya menurut syara’ atau adat karena keharamannya atau karena merusak harga dirinya, karena pekerjaan itu dianggap tidak ada, seperti ketika tidak ada yang mempekerjakannya, kecuali orang yang hartanya diharamkan atau syubhat yang kuat seperti yang sudah jelas. Al-Ghazali mengeluarkan fatwa bahwa orang dari keluarga yang tidak terbiasa bekerja dalam arti dapat merusak harga diri, mereka dapat mengambil zakat.” (Muhammad Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj, [Mesir, Mustafa Al-Babi Al-Halaby: 1967] juz VI, halaman 153).
Standar Penghasilan yang Menghalangi Penerimaan Zakat Penghasilan dari pekerjaan yang menjadikan seseorang tidak boleh menerima zakat adalah penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan pokok sampai 'umrul ghalib (60-62 tahun). Jika penghasilannya tidak dapat mencukupi, maka ia masih tergolong miskin.
Tercukupinya kebutuhan pokok dapat terwujud dalam pekerjaan dengan penghasilan besar, atau penghasilan yang tidak besar namun pekerjaan itu dapat dilakukan terus-menerus dan tetap, sehingga dapat mencukupi, atau ia memiliki banyak pekerjaan, yang jika hasilnya dijadikan satu, maka dapat mencukupi.
Artikel Terkait
5 Doa Pilihan yang Cocok Dibaca Selama Ramadhan
Hikmah Zakat Dalam Islam
Jelang Ramadhan, Disdaging Pastikan Harga Kebutuhan Pokok Stabil
Harga Cabai Naik, Anton Sudjana :Terpenting Harga Beras Normal
Kota Bogor Diserbut Prodak Miras, Pol PP Baru Sita Ratusan
Momentum Lebaran Jadi Hegemoni Kapitalis Kepada Kaum Proletar
Menambah Keeratan dan Semangat PMII UNUSIA Gelar Harlah PMII 64 th dan Halal bi Halal
Intervensi Presiden Dalam Pemilu, MK: Tidak ada Bukti Yang Meyakinkan
Soal Hasil Pemilu, PBNU Serukan Patuhi Putusan Mahkamah Konstitusi
Penjelasan Miskin Pada Bab Zakat Menurut Imam Syafi'i